Jambi-Lemkiranews.Id
Di penghujung tahun 2024, duka mendalam menyelimuti warga eks transmigrasi ke-3 di Jambi. Lahan perkebunan sawit dan pinang seluas 100 hektar yang telah mereka garap sejak 1982, kini hanya tinggal tanah kosong. Bukan karena bencana alam, melainkan karena ulah alat berat yang meratakan semuanya dalam sekejap.
Di balik peristiwa ini, terselip kisah panjang tentang konflik agraria yang rumit dan penuh tanda tanya. Pergantian batas wilayah, keputusan pemerintah daerah, serta dugaan keterlibatan mafia tanah membuat warga kehilangan hak atas tanah yang menjadi sumber penghidupan mereka selama puluhan tahun.
Perubahan Batas Wilayah, Awal Mula Sengketa
Sejak pertama kali menggarap lahan pada 1982, warga eks transmigrasi ke-3 telah mengalami empat kali perubahan administrasi wilayah. Awalnya berada di Kecamatan Dendang, lalu berpindah ke Nipah Panjang, kemudian ke Rantau Rasau, hingga akhirnya masuk Kecamatan Berbak. Pergeseran administratif ini awalnya dianggap sekadar formalitas. Namun, pada 2015, pemerintah daerah mengeluarkan keputusan yang menjadi titik balik konflik.
Dalam keputusan tersebut, batas wilayah kembali diubah, dan lahan yang selama ini dikelola warga tiba-tiba dimasukkan ke wilayah Kelurahan Simpang, Kecamatan Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Sejak saat itu, hak kepemilikan warga atas tanah mulai dipertanyakan.
Mafia Tanah dan Hilangnya Hak Warga
Kondisi semakin pelik dengan dugaan adanya mafia tanah yang menjual lahan warga kepada perusahaan perkebunan sawit. Tanpa kejelasan hukum, tanah yang telah diolah selama lebih dari 40 tahun itu tiba-tiba berpindah tangan. Warga pun tak lagi memiliki kuasa atas tanah yang menjadi tumpuan hidup mereka.
“Kami hanya ingin keadilan. Ini tanah yang kami garap sejak dulu, tapi kenapa sekarang tiba-tiba dianggap bukan milik kami?” ungkap salah seorang warga dengan nada kecewa.
Situasi ini mencerminkan bagaimana lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat kecil dalam konflik agraria. Ketika pemetaan ulang wilayah tidak diiringi dengan kepastian hukum dan transparansi, masyarakat kecil justru menjadi korban.
*Pemerintah dan Kepercayaan yang Terkikis*
Di tengah tragedi ini, muncul pula narasi politis yang memperlihatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sindiran terhadap kepemimpinan yang dianggap cacat moral semakin memperkeruh situasi.
Analisis dan Ringkasan Video YouTube @pujasumatera dapat disaksikan di Link YouTube:
Video ini mengangkat isu konflik agraria yang dialami warga eks transmigrasi ke-3 Jambi di penghujung tahun 2024. Lahan perkebunan sawit dan pinang seluas 100 hektar yang telah digarap sejak 1982 diratakan oleh alat berat, menyebabkan kehilangan sumber penghidupan bagi warga.
Sejak 1982, wilayah tersebut telah mengalami perubahan administratif sebanyak empat kali, yang berujung pada konflik agraria. Pada 2015, Pemda membuat tapal batas baru, yang justru memperparah situasi karena lahan warga dimasukkan ke wilayah Kelurahan Simpang, Kecamatan Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Ada dugaan keterlibatan mafia tanah yang menjual lahan warga ke perusahaan perkebunan sawit tanpa kejelasan hukum. Warga menuntut keadilan atas hak tanah mereka.
1. Isu Agraria dan Konflik Lahan.
Perubahan batas wilayah secara administratif sering menjadi sumber konflik agraria, terutama jika tidak diiringi dengan kejelasan hak kepemilikan.
Dugaan keterlibatan mafia tanah menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan pertanahan dan hukum yang seharusnya melindungi warga.
2. Dampak Sosial dan Ekonomi.
Kehilangan lahan mengancam mata pencaharian warga, terutama yang menggantungkan hidup pada sektor perkebunan.
Konflik agraria seperti ini dapat memicu ketidakstabilan sosial di daerah tersebut.
3. Dimensi Politik.
Dalam video terdapat sindiran terhadap pihak berwenang, mengindikasikan adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menangani konflik agraria.
Pernyataan seperti “ketika kepemimpinan dari hasil kecurangan” dan “Lha kan disandera?” menunjukkan bahwa persoalan ini juga dikaitkan dengan dinamika politik nasional atau lokal.
*“KETIKA KEPEMIMPINAN DARI HASIL KECURANGAN, YA SEPERTI INI DEH,”* demikian salah satu komentar dalam video yang mengangkat isu ini.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa masalah agraria di Jambi bukan sekadar soal tanah, tetapi juga menyentuh ranah politik dan ketidakadilan struktural yang dirasakan warga.
*Tanah yang Diratakan, Harapan yang Dihancurkan*
Bagi warga eks transmigrasi ke-3, tanah bukan hanya sebidang lahan, tetapi juga sejarah, kehidupan, dan harapan. Namun, dalam sekejap, semua itu hilang.
Konflik agraria seperti ini bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Di berbagai daerah, masyarakat kecil sering kali berhadapan dengan kekuatan besar yang sulit dilawan. Jika tidak ada langkah konkret dari pemerintah untuk melindungi hak rakyat, maka kasus serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk terulang kembali.
Kini, pertanyaannya bukan hanya tentang siapa yang benar atau salah, tetapi juga tentang ke mana keadilan harus dicari. Ketika hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, rakyat kecil hanya bisa bertanya: Masih adakah keadilan untuk mereka? (SAD/Red)
#Editor ‘Syarif Al Dhin#