RUU Polri dan KUHAP: Publik Harus Dilibatkan dalam Proses Pembahasan

Jakarta, Lemkiranews.id  – Upaya revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) saat ini bergulir di tengah sorotan terhadap berbagai persoalan serius yang terjadi di tubuh kepolisian. Mulai dari kasus kekerasan seksual yang melibatkan perwira, praktik korupsi, hingga tindakan sewenang-wenang yang menyebabkan kematian terduga pelaku kejahatan di luar proses hukum.

Seiring dengan itu, kekhawatiran publik juga mencuat terhadap sejumlah ketentuan baru dalam revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Salah satu pasal yang menuai sorotan adalah Pasal 5 Ayat 2 Huruf a, yang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan tindakan seperti penangkapan, pelarangan meninggalkan tempat, penggeledahan, hingga penahanan tanpa perlu melalui prosedur yang selama ini dianggap sebagai standar—yakni surat perintah penangkapan.

Ketentuan tersebut berpotensi memperbesar kekuasaan aparat penegak hukum, khususnya Polri, dan membuka celah terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Padahal, dalam KUHAP yang masih berlaku saat ini, proses penangkapan harus didahului dengan surat resmi dan melalui tahapan prosedural yang ketat.

Di sisi lain, RUU Polri yang diajukan justru memperluas kewenangan institusi tersebut, tanpa memperkuat mekanisme pengawasan. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Polri bisa menjadi lembaga super-kuat yang minim kontrol, bahkan berpotensi disalahgunakan sebagai alat politik. Padahal, idealnya revisi UU Polri justru diarahkan untuk memperkuat sistem pengawasan terhadap aparat, bukan sebaliknya.

Harapan masyarakat terhadap revisi ini adalah terbentuknya Polri yang lebih profesional. Tapi untuk mencapainya, perlu ada sistem kontrol dan pengawasan yang lebih kuat. Dalam draf RUU Polri saat ini, justru penguatan pengawasan itu nyaris tidak terlihat. Sebaliknya, kewenangan Polri diperluas. Padahal dengan UU yang sekarang saja, praktik abuse of power masih sering terjadi,” ungkap Advokat H. Alfan, anggota Divisi Hukum DPN PPWI (Dewan Pengurus Nasional Persatuan Pewarta Warga Indonesia).

Bacaan Lainnya

Ia menambahkan, selama ini pengawasan terhadap aparat kepolisian hanya dilakukan secara internal melalui Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum). Namun karena kedua lembaga tersebut berada dalam struktur Polri, pengawasan yang dijalankan cenderung tidak tegas dan tidak objektif.

Bagaimana mungkin pengawasan bisa efektif jika yang membuat aturan, melaksanakan, dan mengawasi adalah institusi yang sama?” tegas Alfan, yang juga Managing Partner kantor hukum ALFAN SARI & REKAN.

Sementara itu, mekanisme pengawasan eksternal yang seharusnya dijalankan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga dinilai tidak berjalan optimal. Alfan bahkan menyebut bahwa dalam sejumlah kasus, Kompolnas justru tampil seperti “juru bicara” kepolisian, bukan pengawas independen. “Kewenangan Kompolnas sangat lemah, dan komposisi komisionernya didominasi oleh unsur pemerintah dan Polri,” tambahnya.

Karena itu, Alfan menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam proses revisi UU Polri dan KUHAP. Diskusi publik yang melibatkan DPR, pemerintah, serta berbagai elemen masyarakat sipil harus dilakukan secara terbuka dan mendalam sebelum revisi disahkan. “Jika dibiarkan seperti ini, revisi justru berpotensi mencederai rasa keadilan dan merugikan masyarakat luas,” tegasnya.

Lebih jauh, Alfan menilai bahwa revisi UU Polri seharusnya mengikuti revisi KUHAP terlebih dahulu. Sebab, KUHAP adalah dasar sistem peradilan pidana, dan mengatur bagaimana lembaga penegak hukum—termasuk Polri—bekerja. Jika revisi KUHAP dijalankan lebih dahulu, maka ruang lingkup kewenangan yang diberikan kepada Polri bisa lebih dikontrol. Ini penting, mengingat lembaga penegak hukum tidak hanya Polri, tapi juga Kejaksaan, KPK, dan BNN.

Menurut H. Alfan, draf RUU Polri saat ini mencerminkan kegagalan DPR dan pemerintah dalam melihat akar persoalan mendasar dalam tubuh kepolisian. Maka dari itu, melibatkan publik dalam pembahasan kedua RUU ini bukan hanya penting, tetapi mendesak demi menjaga prinsip keadilan dan negara hukum yang sehat. (Red)

Syarif Aldin
Author: Syarif Aldin

Pos terkait