Gugat Rp 200 Miliar, PT LMI Lawan Sikap Arogan PT Dok Pantai Lamongan

Lamongan, Lemkiranews.id – Kuasa hukum PT Lamongan Marine Industry (LMI) resmi melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap PT Dok Pantai Lamongan (DPL) ke Pengadilan Negeri Lamongan. Gugatan ini dilayangkan menyusul sikap arogan dan tindakan sewenang-wenang yang diduga dilakukan oleh pihak DPL terhadap aset milik LMI.

Gugatan tersebut diajukan pada Rabu, 25 Maret 2025, dengan Register Nomor: 10/Pdt.G/2025/PN Lamongan. Bertindak sebagai kuasa hukum, Rio Dedy Heryawan, S.H., M.H., bersama Tomuan Sugianto Hutagaol, S.H., menyampaikan bahwa kliennya merasa dirugikan secara psikologis, moril, maupun materil akibat tindakan DPL yang dianggap melampaui batas hukum.

Menurut Rio, PT Dok Pantai Lamongan telah melakukan tindakan seperti pengukuran tanpa izin, intimidasi, dan menempatkan sejumlah karyawannya di lokasi objek sengketa. Akibatnya, PT LMI serta para karyawannya mengalami tekanan psikis, rasa cemas, hingga ketidaknyamanan dalam menjalankan aktivitas.

Tindakan ini jelas melanggar hukum. Eksekusi pengosongan itu harus berdasarkan penetapan Pengadilan, sesuai Pasal 200 ayat (11) HIR dan Pasal 218 ayat (2) Rbg. Tanpa dasar hukum, tindakan DPL masuk kategori perbuatan melawan hukum,” tegas Rio kepada media ini, Senin (7/4/2025).

Tak tanggung-tanggung, dalam gugatan tersebut pihak LMI menuntut ganti rugi immateriil sebesar Rp 200 miliar. Selain itu, mereka juga meminta ganti rugi materiil sebesar Rp 1 miliar untuk kompensasi biaya hukum yang telah dikeluarkan.

Dalam gugatan yang diajukan, kuasa hukum LMI menyampaikan enam poin tuntutan kepada Pengadilan Negeri Lamongan, antara lain:

1. Menghukum PT DPL untuk menghentikan segala bentuk penguasaan, pengukuran, dan penempatan orang di objek sengketa sebelum adanya putusan eksekusi dari pengadilan.

2. Menyatakan bahwa PT DPL telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pihak LMI.

3. Menghukum DPL membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 1 miliar.

4. Menuntut ganti rugi immateriil sebesar Rp 200 miliar akibat dampak buruk terhadap citra perusahaan dan tekanan psikologis karyawan.

5. Memohon sita jaminan (conservatoir beslag) atas aset milik DPL.

6. Menuntut uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 50 juta per bulan jika tergugat tidak mematuhi putusan pengadilan.

Jangan Semena-mena!” Tegas Direktur LMI

Direktur PT LMI, Wahyudin Nahafi, yang akrab disapa Pak Niko, juga angkat bicara. Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak mempermasalahkan status tanah yang telah dimenangkan oleh PT DPL dalam proses lelang, namun tidak terima jika seluruh aset di atas lahan tersebut—termasuk bangunan, mess, gudang, dan rumah knock-down—dianggap milik DPL secara sepihak.

“Silakan ambil tanah yang memang sudah menjadi hak mereka berdasarkan SHGB. Tapi jangan semena-mena mengklaim semua yang ada di atasnya juga milik mereka. Itu milik kami dan harus ada kompensasi,” ucap Pak Niko.

Ia menambahkan, DPL seakan bertindak sewenang-wenang, termasuk memasukkan petugas keamanan dan staf ke lokasi tanpa persetujuan.

Kalau merasa menang lelang, bukan berarti bisa bertindak seenaknya. Bangunan dan peralatan yang ada di situ bukan bagian dari yang dilelang. Tanah itu tidak lari ke mana-mana, tapi hak kami juga masih ada, kurang lebih 2,6 hektare di lingkungan itu,” tegasnya.

Pak Niko berharap agar proses hukum bisa berjalan secara adil dan profesional. Ia juga mengajak semua pihak untuk menghormati proses hukum yang sedang berlangsung.

Sengketa antara dua perusahaan besar di Lamongan ini menyita perhatian publik, khususnya di kalangan pelaku industri maritim. Dengan nilai gugatan yang fantastis dan isu hukum yang cukup kompleks, masyarakat kini menantikan langkah lanjutan dari Pengadilan Negeri Lamongan dalam menyelesaikan konflik ini secara adil dan transparan. (Red)

Syarif Aldin
Author: Syarif Aldin

Pos terkait