Makassar, Lemkiranews.id – Dalam beberapa waktu terakhir, media sosial diramaikan dengan fenomena baru yang cukup unik sekaligus kontroversial. Sekelompok orang terlihat menari dengan gerakan yang disebut menyerupai tarian ala Yahudi, yang kemudian dikaitkan dengan tradisi meminta Tunjangan Hari Raya (THR). Tren ini pun menuai berbagai reaksi dari masyarakat, mulai dari yang menganggapnya sebagai hiburan semata hingga yang melihatnya sebagai sesuatu yang tidak pantas, Jum’at (4/4/2025).
Tren ini bermula dari beberapa video yang beredar di platform media sosial, di mana sekelompok orang menari dengan gerakan melompat-lompat sambil mengangkat tangan, mirip dengan beberapa tarian khas komunitas Yahudi seperti Hora atau Hasidic Dance. Namun, dalam konteks tren ini, tarian tersebut digunakan sebagai ekspresi lucu untuk meminta THR kepada atasan, teman, atau kerabat yang lebih tua.
Beberapa kreator konten mulai membuat variasi gerakan dan menambahkan musik khas untuk mendukung aksi mereka, sehingga semakin banyak orang yang ikut-ikutan melakukan hal serupa. Tidak butuh waktu lama, tarian ini menjadi viral dan banyak digunakan dalam berbagai situasi, baik di kantor, rumah, maupun acara kumpul keluarga.
Seperti halnya tren viral lainnya, fenomena ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat. Ada yang menganggapnya sebagai hiburan belaka, tanpa perlu dikaitkan dengan isu-isu sensitif. Namun, ada pula yang merasa bahwa menggunakan tarian khas komunitas tertentu dalam konteks meminta THR bisa dianggap sebagai tindakan tidak pantas atau bahkan melecehkan budaya lain.
Beberapa kalangan juga menyoroti bahwa tarian ini bisa menimbulkan kesalahpahaman dan stereotip yang tidak benar terhadap komunitas Yahudi. Di sisi lain, ada juga pihak yang mengkritisi bahwa mengaitkan tarian ini dengan praktik meminta-minta bisa memberikan citra buruk bagi budaya kerja yang profesional.
Dalam kajian fikih, meniru budaya atau tradisi dari kaum lain dikenal dengan istilah tasyabbuh. Hukum tasyabbuh sendiri bergantung pada konteksnya. Jika suatu tindakan menyerupai ibadah atau kebiasaan khas agama lain, maka hukumnya dilarang. Namun, jika hanya merupakan aspek budaya yang tidak terkait dengan ritual keagamaan, hukumnya bisa mubah atau makruh, tergantung pada dampaknya.
Beberapa ulama menilai bahwa menari secara umum bisa diperbolehkan jika tidak melanggar prinsip syariah, seperti bercampur dengan lawan jenis, dilakukan dengan gerakan yang tidak sopan, atau disertai dengan musik yang diharamkan. Jika tarian ini dilakukan semata-mata untuk hiburan tanpa niat merendahkan agama atau budaya tertentu, maka sebagian ulama memandangnya sebagai hal yang tidak sampai ke level keharaman.
Namun, ulama seperti Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa menari yang dikaitkan dengan ibadah atau tradisi keagamaan dari kaum lain termasuk dalam bid’ah dan tasyabbuh yang harus dihindari. Oleh karena itu, jika tarian ini memang memiliki unsur ritual tertentu dalam tradisi Yahudi, umat Islam sebaiknya lebih berhati-hati dalam mengikutinya.
Fenomena tarian ala Yahudi untuk meminta THR ini mencerminkan bagaimana budaya viral di media sosial bisa dengan cepat menyebar dan diadopsi oleh berbagai kalangan. Meski sebagian orang melihatnya sebagai hiburan semata, ada baiknya tetap mempertimbangkan sensitivitas budaya dan nilai-nilai agama dalam setiap tren yang diikuti.
Bagi yang ingin sekadar bersenang-senang, penting untuk tetap menjaga etika dan tidak menjadikan budaya tertentu sebagai bahan lelucon yang berpotensi menyinggung pihak lain. Sebaliknya, bagi yang merasa keberatan dengan tren ini, bisa menyampaikan pandangannya dengan cara yang bijak dan tidak mudah terprovokasi.
Menari, Joget, dan Dansa Ala Yahudi dalam Tinjauan Fikih
Dalam hukum Islam, menari dan berdansa memiliki berbagai pandangan tergantung pada konteks, tujuan, dan bagaimana tarian tersebut dilakukan. Berikut ini beberapa aspek penting terkait dengan hukum Islam tentang menari dan berdansa, khususnya yang dikaitkan dengan budaya Yahudi:
1. Hukum Menari dalam Islam
Hukum menari dalam Islam bergantung pada beberapa faktor:
– Jika dilakukan secara individual atau dalam kelompok sesama jenis, tanpa unsur maksiat, maka beberapa ulama membolehkannya, terutama jika bertujuan untuk ibadah atau kebahagiaan yang tidak melanggar norma agama.
– Jika menari bercampur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, mayoritas ulama melarangnya karena dapat memicu fitnah dan melanggar batasan syariat.
– Jika menari disertai dengan musik yang dilarang atau gerakan yang erotis, maka jelas diharamkan.
Beberapa ulama seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din membolehkan tarian jika tidak melibatkan hal-hal yang bertentangan dengan Islam.
2. Tarian dan Budaya Yahudi dalam Perspektif Islam
Islam tidak secara khusus melarang tarian dari suatu kaum tertentu, termasuk Yahudi, kecuali jika tarian tersebut memiliki unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti:
– Terkait dengan ritual keagamaan selain Islam (karena ini termasuk tasyabbuh atau menyerupai kaum lain dalam urusan ibadah).
– Mengandung unsur yang bertentangan dengan akhlak Islam (misalnya, tarian yang vulgar atau membangkitkan syahwat).
Dalam Islam, tasyabbuh bil-kuffar (menyerupai kaum non-Muslim dalam hal yang khas dari agama mereka) tidak diperbolehkan, terutama dalam aspek yang berkaitan dengan ritual atau simbol keagamaan.
3. Jenis Tarian yang Berasal dari Tradisi Yahudi
Beberapa tarian yang dikenal sebagai bagian dari budaya Yahudi meliputi:
– Hora – Tarian rakyat Yahudi yang populer di Israel dan sering dilakukan dalam acara perayaan seperti pernikahan dan Hari Kemerdekaan Israel.
– Hasidic Dance – Tarian religius yang dilakukan oleh komunitas Hasidisme sebagai bentuk ekspresi kegembiraan dalam ibadah.
– Klezmer Dance – Tarian yang sering mengiringi musik klezmer khas Yahudi Eropa Timur.
Jika tarian-tarian ini dilakukan dalam konteks perayaan budaya tanpa unsur ritual keagamaan, maka status hukumnya bisa diperdebatkan. Namun, jika ada unsur ibadah, maka seorang Muslim sebaiknya menghindarinya agar tidak terjerumus dalam tasyabbuh.
Islam membolehkan tarian jika tidak melanggar prinsip syariah, seperti bercampur-baur antara lawan jenis atau memiliki unsur erotis.
Mengikuti tarian yang memiliki unsur ritual keagamaan Yahudi tidak diperbolehkan karena termasuk tasyabbuh dalam ibadah.
Jika tarian hanya bagian dari budaya tanpa unsur keagamaan, hukumnya bergantung pada bagaimana dan dalam konteks apa tarian tersebut dilakukan.
4. Dalil tentang Menari dalam Islam
Beberapa hadits menyebutkan praktik menari yang terjadi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti:
Hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu:
“Orang–orang Habasyah menari di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menggerak-gerakkan badan dan mengatakan, ‘Muhammad adalah hamba yang saleh.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, ‘Apa yang mereka katakan?’ Orang-orang menjawab, ‘Mereka menyebut bahwa Muhammad adalah hamba yang saleh.’” (HR. Ahmad, 3:152, sahih menurut Syaikh Syuaib Al-Arnauth)
Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Ada orang-orang Habasyah menggerak-gerakkan badan pada hari Id di masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku, lalu aku meletakkan kepalaku di atas bahu beliau dan menyaksikan mereka hingga aku sendiri yang memutuskan untuk tidak melihat lagi.” (HR. Muslim, no. 892)
Hadits lain dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Orang-orang Habasyah bermain-main dengan alat perang mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupiku dan aku berusaha tetap melihat. Hal ini terus berlangsung hingga aku sendiri yang memutuskan untuk tidak melihatnya lagi.” (HR. Bukhari, no. 5190)
5. Hukum Menari, Joget, dan Dansa dalam Islam
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menari, joget, dan dansa:
1. Pendapat Mayoritas Ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian Syafi’iyah):
– Makruh, karena dianggap sebagai perbuatan rendah (dana’ah) dan sia-sia (lahwun).
Jika disertai hal yang haram seperti minum khamar atau membuka aurat, maka hukumnya menjadi haram.
Gerakan yang dilakukan oleh orang Habasyah dalam hadits di atas bukanlah joget sebagaimana yang dikenal sekarang, melainkan lompat-lompat saat bermain pedang.
2. Pendapat Syafi’iyah:
– Menari mubah, berdasarkan hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan dan tidak melarangnya.
Namun, jika menari menjatuhkan kewibawaan (muru’ah), hukumnya menjadi haram.
Jika gerakannya lemah gemulai seperti perempuan, maka diharamkan bagi laki-laki maupun perempuan.
3. Pendapat Ibnu Taimiyah:
– Menari dalam konteks ibadah seperti dzikir atau membaca shalawat termasuk bid’ah yang maksiat, karena tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah atau para ulama salaf.
6. Catatan Ulama tentang Menari dan Joget
– Menari dapat dihukumi mubah, seperti menari dengan alat perang.
– Makruh, jika dilakukan tanpa unsur haram, namun tetap dianggap sia-sia.
– Haram, jika disertai dengan hal yang dilarang seperti membuka aurat atau bagian dari ritual ibadah yang tidak disyariatkan.
– Wanita dilarang menari di depan laki-laki non-mahram, karena bisa menimbulkan fitnah.
– Menari antara suami istri diperbolehkan, asalkan dalam batasan privasi.
– Persaksian seorang penari ditolak, karena dianggap merusak kewibawaan.
– Menyewa penari mengikuti hukum menari itu sendiri, jika menari diperbolehkan, maka menyewa penari juga diperbolehkan, jika tidak, maka haram.
Islam memberikan batasan yang jelas mengenai aktivitas menari, joget, dan dansa. Jika dilakukan dalam batas yang wajar dan tidak melanggar prinsip syariat, maka bisa dianggap mubah atau makruh. Namun, jika melibatkan unsur yang diharamkan, maka hukumnya menjadi haram. Oleh karena itu, seorang Muslim harus bijak dalam menyikapi aktivitas ini agar tetap sesuai dengan ajaran Islam. (Red)
Redaksi : Syarif Al Dhin