Sorong, Lemkiranews.id – Di negeri penuh warna hukum yang kian ajaib ini, seorang warga negara bernama Aiptu (Purn.) Labora Sitorus kembali menjadi bintang tamu dalam panggung satire keadilan. Kali ini, bukan karena jumlah rekeningnya yang menghebohkan, tapi karena ia diduga dijadikan “tersangka siluman” dalam kasus hukum yang didasari oleh satu laporan polisi ajaib yang mampu menjelma menjadi tiga laporan berbeda, untuk tiga orang berbeda, pada tanggal berbeda, oleh petugas berbeda, namun dengan nomor LP yang sama persis: LP Nomor 65/III/2013/SPKT/PAPUA.
“Ini bukan sihir, ini cuma logika hukum Indonesia,” kira-kira begitu celetukan satire yang cocok menggambarkan fenomena ini.
– Satu Nomor LP untuk Semua Orang, Kenapa Tidak?
Menurut Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalelanke, kasus yang menimpa Labora Sitorus lebih mirip sulap ketimbang penegakan hukum. Ia menyebut bahwa Labora diduga kuat ditersangkakan berdasarkan LP milik orang lain—dan bahkan bukan hanya satu orang lain, melainkan dua orang lainnya juga!
“Ini hukum atau permainan kartu UNO? Kok satu kartu bisa dipakai semua orang?” sindir Wilson Lalelanke dalam video pendek yang tayang di kanal resminya.
Temuan Komnas HAM yang dirilis dalam dokumen resmi Eksaminasi Proses dan Putusan Hukum Labora Sitorus pada Desember 2015 pun membenarkan dugaan ini. Di halaman 90, dijelaskan bahwa:
– LP Nomor: 65/III/2013/SPKT/PAPUA, tertanggal 26 Maret 2013, dibuat atas nama Selewanus Burdam, ditandatangani Briptu Marthinus Pontini.
– LP dengan nomor yang sama, tertanggal 28 Maret 2013, atas nama Labora Sitorus, dibuat oleh Brigpol Theo Rudi Gaitey.
– LP lagi-lagi dengan nomor yang sama, tanggal 28 Maret 2013, kali ini atas nama Immanuel Mamoribo dkk, juga dibuat oleh Brigpol Theo Rudi Gaitey.
Seakan sistem SPKT kita adalah mesin fotokopi sakti yang bisa menduplikasi LP sesuai kebutuhan—mirip formulir kosong yang bisa diisi sesuai pesanan.
– Ketika LP Jadi Puzzle, Di Mana BAP-nya?
Masih menurut Komnas HAM, dalam ketiga LP ajaib itu tidak ditemukan adanya Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) yang menyebut Labora sebagai tersangka resmi. Alias, tak ada surat resmi, tapi tahu-tahu dihukum. Sebuah jurus teleportasi hukum yang belum diajarkan di sekolah hukum mana pun.
Wilson pun menggelengkan kepala, “Kalau ini bukan kriminalisasi, lalu apa? Jangan-jangan tersangka sebenarnya sedang minum kopi sambil menonton Labora dihukum atas namanya.”
– Negara atau Negara-Negaraan?
Fenomena ini mencerminkan wajah buram penegakan hukum yang lebih mirip pertunjukan sirkus. Di mana aparat penegak hukum bisa menyulap LP menjadi jaring yang menjebak siapa pun, bahkan tanpa bukti atau dasar hukum yang sahih.
Ironisnya, hingga hari ini, belum terdengar langkah korektif dari institusi terkait. Publik pun bertanya:
– Di mana akuntabilitas penyidik?
– Mengapa jaksa dan hakim bisa menerima perkara dengan dasar LP yang janggal?
– Apakah hukum di Indonesia kini berbasis “asal ada LP” saja?
Dalam kisah Labora Sitorus, kita belajar bahwa keadilan bisa sangat lentur, tergantung siapa yang menariknya. Satu LP bisa punya banyak wajah, tergantung siapa yang ingin dijadikan tersangka.
Maka tak berlebihan jika publik menyebut negeri ini bukan lagi Negara Hukum, tapi Negara “LP-Hukum”, di mana satu laporan bisa jadi senjata makan tuan, asal punya stempel.
“Hari ini Labora, besok bisa siapa saja,” ujar Wilson, menutup keterangannya dengan senyum pahit. (SAD/Red)
#editor: Syarif Al Dhin