The Silent Betrayal: Ketika Perbankan Mengkhianati Ruang Otonomi Pribadi

Oleh: Muh Fadhli Febrian Amir

LUWU, LemkiraNewsID Beberapa hari terakhir, publik kembali dibuat resah oleh isu-isu krusial yang menimpa dunia perbankan. Mulai dari kredit macet, hingga yang terbaru—dugaan penggunaan dan kebocoran data pribadi nasabah, yang ironisnya dialamatkan kepada bank berplat merah.

Pertanyaan pun muncul di benak masyarakat: Jika negara saja gagal menjaga data dan menghormati ruang otonomi pribadi warganya, kepada siapa lagi kita harus menitipkan harapan akan perlindungan konsumen dan keadilan?

Jika dugaan ini terbukti dan diputuskan sebagai tindak kejahatan, maka peristiwa ini layak dikategorikan sebagai extraordinary crime. Pasalnya, pelakunya adalah lembaga keuangan milik negara, yang justru diamanahkan menjaga kepercayaan publik.

Dalam lalu lintas keuangan, kepercayaan adalah “mata uang” yang nilainya melampaui rupiah. Bank tidak hanya memegang uang, tetapi juga identitas, reputasi, dan masa depan nasabahnya.

Ketika sebuah bank memanfaatkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) seseorang untuk membuka rekening tanpa izin, itu bukan sekadar pelanggaran prosedur—melainkan perampasan ruang otonomi pribadi yang secara moral setara dengan pencurian. Identitas bukanlah sekadar data, melainkan representasi eksistensi individu dalam kontrak sosial.

Dalam perspektif etika bisnis, penggunaan NIK tanpa persetujuan menempatkan manusia hanya sebagai instrumen pencapaian target bisnis. Praktik ini mereduksi martabat manusia menjadi sekadar angka dalam laporan penyaluran produk.

Jika merujuk pada pemikiran filsuf politik John Rawls, prinsip keadilan menuntut ketidaksetaraan hanya dapat dibenarkan bila menguntungkan pihak yang paling tidak beruntung. Namun, dalam kasus ini, ketidaksetaraan justru dimanfaatkan untuk mengorbankan kelompok paling rentan: konsumen awam yang minim akses perlindungan.

Fenomena ini digambarkan sebagai the silent betrayal—pengkhianatan etis yang berjalan tanpa suara. Korban sering kali tidak mengetahui dirinya telah dikhianati hingga konsekuensinya menghantam. Dampaknya bisa mematikan:

– Pencucian Uang – Pemilik NIK dapat terseret kasus hukum akibat rekening digunakan untuk transaksi ilegal.

– Blacklist Sistem Perbankan – Nama korban masuk daftar hitam Bank Indonesia.

– Pelanggaran Data Pribadi – Identitas bocor yang bisa dimanfaatkan berulang kali untuk kejahatan.

Pakar Hukum Perbankan, Dr. Anindya Prasetyo, menegaskan bahwa kasus seperti ini bukan sekadar kelalaian. “Dalam UU Perlindungan Data Pribadi, penggunaan NIK tanpa izin adalah tindak pidana. Jika melibatkan pejabat bank, ada unsur penyalahgunaan kewenangan,” ujarnya.

Meski Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) telah mewajibkan penerapan Know Your Customer (KYC), data tahun 2023 menunjukkan bahwa 25% pembukaan rekening baru di berbagai cabang bank di Indonesia dilakukan dengan dokumen tidak lengkap dan minim verifikasi.

Padahal, UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi secara tegas mengatur bahwa penggunaan data pribadi tanpa persetujuan dapat dipidana hingga 6 tahun penjara dan denda miliaran rupiah, serta denda korporasi hingga 2% dari pendapatan tahunan.

Selain itu, korban dapat menggugat dengan dasar hukum:

1. UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen – Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan, serta kewajiban ganti rugi oleh pelaku usaha.

2. UU No. 10/1998 tentang Perbankan – Kewajiban penerapan prinsip KYC.

3. UU No. 27/2022 tentang PDP – Penggunaan data pribadi tanpa izin = tindak pidana.

4. KUH Perdata Pasal 1365 – Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

Langkah Hukum bagi Korban

Pihak yang dirugikan dapat:

– Mengajukan pengaduan resmi ke OJK.

– Menggugat perdata ke Pengadilan Negeri atau BPSK.

– Melapor ke kepolisian jika masuk ranah pidana.

– Menuntut ganti rugi materiil, immateriil, dan pemulihan nama baik.

Tanggung jawab hukum dapat dikenakan pada bank sebagai badan hukum, pimpinan cabang, maupun pegawai terkait.

Kasus ini harus menjadi alarm bagi otoritas dan aparat penegak hukum untuk menindak tegas kejahatan etis yang merugikan publik, terutama kelompok paling rentan. Jika dibiarkan, ia bisa berkembang menjadi snowball effect yang menggulung kepercayaan terhadap sistem perbankan nasional. (Red)

Penulis adalah seorang Dosen Etika Bisnis FEB – Universitas Andi Djemma Palopo

Syarif Aldin
Author: Syarif Aldin

Pos terkait