Jakarta, Lemkiranews.id – Proyek ambisius revisi naskah sejarah nasional yang ditargetkan rampung pada HUT ke-80 Republik Indonesia kini menuai sorotan tajam. Komisi X DPR RI mempertanyakan minimnya transparansi dan keterlibatan lembaga legislatif dalam proses penulisan ulang sejarah Indonesia yang tengah digarap oleh Kementerian Kebudayaan.
Dalam rapat dengar pendapat umum bersama Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), Senin, 19 Mei 2025 kemarin, Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian secara terbuka mengaku belum pernah diajak berdialog secara substantif oleh pihak kementerian. “Terus terang kami pun belum pernah bertemu langsung dan membahas apa persisnya hal-hal yang akan direvisi atau bagaimana prosesnya,” kata Hetifah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Lebih jauh, Hetifah mendesak Kementerian Kebudayaan segera memberikan penjelasan detail mengenai arah dan metodologi proyek yang disebut-sebut sebagai penyusunan “sejarah resmi Indonesia” tersebut. Ia menekankan bahwa Komisi X harus menjadi bagian dari proses tersebut demi menjamin akuntabilitas dan keberagaman perspektif sejarah bangsa.
Senada, anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Mercy Chriesty Barends, juga menyampaikan kekhawatiran serupa. “Hari ini dapat kami sampaikan bahwa kami belum pernah menerima satu dokumen resmi pun dalam bentuk apa pun,” ujar Mercy. Ia menyatakan bahwa informasi mengenai proyek revisi sejarah tersebut justru diperoleh dari media sosial dan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon di berbagai media massa.
Dalam forum yang sama, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyuarakan penolakan terhadap proyek ini. Ketua AKSI, Marzuki Darusman, menilai revisi sejarah berpotensi menciptakan tafsir tunggal yang berbahaya. “Sejarah itu multitafsir, mencerminkan dinamika rakyat, bukan narasi tunggal negara,” ujar mantan Jaksa Agung tersebut.
AKSI khawatir revisi kilat yang ditargetkan rampung Agustus 2025 justru menghasilkan sejarah selektif dan bias. “Sekalipun melibatkan ratusan sejarawan, kesan bahwa ini ditulis untuk legitimasi politik pemerintah akan sulit dihindari,” kata Marzuki.
Aliansi ini terdiri dari para akademisi, pegiat hukum, aktivis HAM, dan kelompok perempuan yang menuntut agar proses revisi sejarah dilakukan secara partisipatif, terbuka, dan akuntabel.
Sementara itu, Kementerian Kebudayaan menjelaskan bahwa proyek ini bertujuan melahirkan sejarah nasional yang diperkuat oleh temuan-temuan terbaru dari berbagai penelitian akademik. Buku sejarah ini dirancang dalam sepuluh jilid dan akan ditulis oleh sejarawan Indonesia dari berbagai perguruan tinggi, bekerja sama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).
“Tujuan penulisan ini adalah menghasilkan sejarah resmi yang mendukung orientasi nasional dan meningkatkan rasa kebangsaan,” demikian bunyi dokumen Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia yang dikutip media.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebelumnya menyatakan, “Sekarang baru dalam proses, yang menuliskan ini para sejarawan. Tahun ini (rencananya) diluncurkan, saat 80 tahun Indonesia merdeka.”
Namun hingga kini, tidak ada mekanisme pengawasan publik yang diumumkan secara resmi terkait proses editorial maupun seleksi narasi sejarah yang masuk dalam buku tersebut.
Kritik dari parlemen dan masyarakat sipil menggarisbawahi pentingnya keterbukaan dalam menulis sejarah bangsa. Tanpa keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, proyek ini dikhawatirkan akan menjadi instrumen legitimasi kekuasaan semata, bukan cermin objektif perjalanan bangsa.
Dengan tenggat yang semakin dekat dan tekanan dari berbagai pihak, Kementerian Kebudayaan kini menghadapi tantangan untuk membuka ruang dialog yang luas, bukan hanya dengan akademisi, tetapi juga dengan publik yang memiliki hak atas sejarah mereka sendiri.
Sejumlah pakar sejarah dan akademisi turut menyuarakan keprihatinannya atas proyek revisi sejarah nasional yang dinilai minim partisipasi publik dan kontrol akademik lintas sektor.
Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan senior dari BRIN, menilai bahwa proyek penulisan sejarah resmi oleh negara berisiko mereduksi keragaman narasi sejarah Indonesia.
“Ketika negara terlalu dominan dalam proyek sejarah, kita harus waspada. Sejarah bisa berubah fungsi dari pencatat masa lalu menjadi alat pembenaran politik kekuasaan,” ujarnya dalam diskusi terbuka di Universitas Indonesia, Selasa (20/5).
Prof. Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan periode sebelumnya dan akademisi sejarah, juga menekankan pentingnya pendekatan partisipatif.
“Sejarah bangsa tidak bisa ditulis terburu-buru, apalagi untuk kepentingan simbolik sesaat. Butuh proses terbuka, lintas disiplin, dan menjangkau suara-suara yang terpinggirkan selama ini,” katanya dalam unggahan media sosial pribadinya.
Sementara itu, Dr. Bonnie Triyana, sejarawan dan kurator Museum Multatuli, mengingatkan bahwa revisi sejarah kerap menjadi pintu masuk ke politik ingatan yang manipulatif.
“Jika tidak hati-hati, kita akan mengulang pola Orde Baru: sejarah sebagai narasi tunggal yang meniadakan konflik, kritik, dan luka kolektif rakyat,” ungkapnya kepada awak media, menanggapi pernyataan Kementerian Kebudayaan.
Dr. Herlambang Wiratraman, akademisi hukum dan kebebasan akademik dari UGM, juga turut menyoroti proses revisi sejarah dari aspek hak asasi.
“Monopoli pengetahuan sejarah tanpa uji publik bisa melanggar hak masyarakat atas informasi dan pendidikan yang jujur. Negara tidak boleh menjadi penyensor sejarah,” kata Herlambang. (Red)