Rekor PSU di Pilkada 2025: Sinyal Darurat bagi Demokrasi Indonesia

Makassar -Lemkiranews.Id

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan mengejutkan dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP-Kada) 2025. Pada 5 Maret 2025, MK memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 24 daerah, dengan 14 di antaranya harus mengulang pemungutan suara di seluruh tempat pemungutan suara (TPS). Ini menjadi rekor tertinggi dalam sejarah Pilkada pasca-reformasi, menandakan meningkatnya permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu di tingkat daerah.

Keputusan MK ini mencerminkan betapa seriusnya pelanggaran yang terjadi. Berbagai bentuk kecurangan dan kelalaian administratif terungkap, mulai dari intervensi pejabat daerah, pemanfaatan fasilitas negara, hingga lemahnya pengawasan dari penyelenggara pemilu. Lonjakan jumlah PSU dibandingkan Pilkada sebelumnya memperlihatkan bahwa manajemen pemilu masih memiliki banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan.

Dari putusan MK, beberapa daerah mencuri perhatian karena skala dan tingkat pelanggaran yang terjadi. Salah satu kasus paling mencolok terjadi di Kabupaten Mahakam Ulu, di mana MK menemukan bahwa Bupati aktif menggunakan dana daerah untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Serang, di mana seorang Menteri terlibat dalam penyalahgunaan wewenang demi memenangkan istrinya dalam kontestasi Pilkada.

Selain PSU, MK juga menjatuhkan sanksi berat berupa diskualifikasi terhadap pasangan calon di 11 daerah, termasuk di Kabupaten Pasaman, Bengkulu Selatan, Gorontalo Utara dan Kota Palopo. Diskualifikasi ini sebagian besar terkait dengan pelanggaran administratif berat, seperti penggunaan bantuan sosial sebagai alat kampanye serta keterlibatan pejabat publik dalam memenangkan kandidat tertentu, serta kesalahan penyelenggara yang tidak teliti memahami kelengkapan mekanisme administrasi pasangan Bacalon.

Keputusan MK untuk menggelar PSU dalam jumlah besar tidak hanya berdampak pada dinamika politik lokal, tetapi juga menimbulkan beban finansial yang signifikan bagi negara. Pelaksanaan PSU memerlukan tambahan anggaran besar, mencakup pencetakan ulang surat suara, distribusi logistik, operasional petugas pemilu, hingga pengawasan yang lebih ketat. Ini adalah pemborosan yang semestinya bisa dihindari jika penyelenggara pemilu bekerja dengan lebih profesional dan bertanggung jawab.

Lebih jauh, PSU juga berdampak pada kepercayaan publik terhadap demokrasi dan penyelenggara pemilu. Masyarakat yang harus kembali ke TPS menjadi korban dari kelalaian yang seharusnya bisa dicegah. Ketidakpastian politik di daerah yang terkena PSU juga meningkat, karena proses pemilu yang seharusnya sudah selesai harus diulang kembali.

Melihat eskalasi PSU yang terjadi dalam Pilkada 2025, sudah saatnya ada langkah konkret untuk memperbaiki tata kelola pemilu di Indonesia. Beberapa langkah mendesak yang harus dilakukan antara lain:

1. Evaluasi dan Pergantian Penyelenggara Pemilu.
KPU dan Bawaslu di daerah yang terbukti lalai harus dievaluasi, bahkan diganti jika terbukti tidak kompeten dalam menjalankan tugasnya.

2. Sanksi Tegas bagi Penyelenggara yang Lalai.
KPU dan Bawaslu yang bertanggung jawab atas kesalahan administratif yang berujung pada PSU harus menerima sanksi tegas, seperti pemotongan anggaran operasional atau pencopotan pejabat terkait.

3. Penguatan Regulasi Pemilu.
Pemerintah dan DPR harus segera merancang regulasi yang lebih ketat untuk mencegah kelalaian dalam penyelenggaraan pemilu, termasuk hukuman bagi pejabat yang terbukti menyalahgunakan wewenang.

4. Pengawasan Independen yang Lebih Kuat.
Peran masyarakat sipil dan lembaga independen dalam mengawasi penyelenggaraan Pilkada perlu ditingkatkan, agar potensi pelanggaran bisa dicegah sebelum hari pemungutan suara.

5. Pendidikan Politik bagi Penyelenggara dan Peserta Pilkada.
Banyak kasus PSU terjadi karena rendahnya pemahaman terhadap aturan pemilu atau kurangnya komitmen terhadap prinsip demokrasi. Pelatihan intensif dan sanksi tegas bisa menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu.

Lonjakan PSU dalam Pilkada 2025 menjadi peringatan serius bahwa sistem pemilu di Indonesia masih memiliki banyak celah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Jika tidak ada perbaikan sistemik dan langkah tegas untuk memperbaiki manajemen pemilu, bukan tidak mungkin pemilu-pemilu berikutnya akan mengalami permasalahan yang lebih besar. Ini bukan hanya membebani anggaran negara, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Pilkada 2025 seharusnya menjadi momentum untuk introspeksi dan perbaikan, bukan sekadar mengulang kesalahan yang sama. Demokrasi yang sehat memerlukan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas. Jika penyelenggara pemilu tidak segera berbenah, maka kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi bisa semakin tergerus, membawa kita ke arah yang lebih berbahaya. (Red)

#Editor: Syarif Al Dhin#

Risal
Author: Risal

Pemimpin Umum /Pemimpin Redaksi Lemkiranews.id

Pos terkait