Jakarta, LemkiraNewsID – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menjatuhkan putusan terhadap perkara sengketa hasil pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palopo Tahun 2025, yang diajukan oleh pihak pemohon dengan nomor perkara 326/PHPU.WAKO-XXIII/2025. Putusan dibacakan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada Selasa, 8 Juli 2025 pukul 16.36 WIB.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim Konstitusi memutuskan:
– Mengabulkan eksepsi Termohon dan Pihak Terkait terkait kedudukan hukum Pemohon.
– Menolak eksepsi selebihnya.
– Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Putusan ini dibacakan oleh Suhartoyo selaku Ketua merangkap Anggota, didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya, yakni Saldi Isra, Ridwan Mansyur, Arsul Sani, Arief Hidayat, Anwar Usman, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, dan M. Guntur Hamzah.
Di hadapan majelis, kuasa hukum Pemohon menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa hormat atas kesempatan yang diberikan MK untuk memulihkan nama baik mereka. Menurutnya, forum ini merupakan “panggung konstitusional” untuk menjelaskan duduk perkara perbedaan isi antara:
– Surat Keterangan Pengadilan Negeri yang menyatakan tidak pernah dipidana,
– Dan SKCK dari kepolisian yang mencantumkan adanya catatan hukum.
Hal inilah yang kemudian memicu dugaan publik atas adanya ketidakjujuran dalam proses pencalonan. Namun dalam pandangan Pemohon, justru MK adalah tempat paling layak untuk mengakhiri fitnah dan spekulasi yang telah menyebar selama proses Pilkada berlangsung.
Isu utama dalam gugatan ini sebenarnya lebih bersifat administratif, bukan pada dugaan manipulasi hasil suara secara langsung. Pemohon menggugat karena merasa dirugikan atas interpretasi dokumen hukum yang tidak sinkron antar lembaga.
Namun Mahkamah Konstitusi menilai bahwa perbedaan administratif tersebut tidak relevan dan tidak cukup kuat untuk membatalkan hasil pemilihan. Selain itu, kedudukan hukum pemohon (legal standing) dinilai tidak memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam UU dan Peraturan MK.
Putusan ini menjadi pengingat penting bahwa:
“Mahkamah Konstitusi bukan tempat untuk memeriksa sengketa administratif pencalonan, kecuali jika terbukti memengaruhi hasil suara secara signifikan.”
Dalam praktiknya, sengketa pencalonan lebih tepat ditangani oleh Bawaslu, KPU, atau PTUN, bukan MK.
Meski permohonan ditolak, pernyataan pemohon di ruang sidang menunjukkan bahwa panggung konstitusi bukan semata-mata tentang menang atau kalah. Tapi juga tentang:
– Merekonstruksi persepsi publik,
– Mendokumentasikan kronologi hukum secara terbuka,
– Mengakhiri stigma politik yang berkembang di ruang publik.
Dalam pusaran politik lokal yang sarat intrik, Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan posisinya sebagai penjaga demokrasi substansial. Ke depan, persoalan administrasi pencalonan perlu ditertibkan dan disinkronkan lintas lembaga agar tidak menjadi alat serang politis yang membingungkan publik.
Demokrasi lokal harus dilindungi dari permainan tafsir dan manipulasi prosedural. Karena hukum bukan sekadar teks – tetapi nilai yang melindungi hak, martabat, dan kepercayaan rakyat.
Majelis hakim dalam putusan menyatakan:
1. Mengabulkan eksepsi pihak Termohon (KPU Kota Palopo/KPU Sulsel) dan Pihak Terkait mengenai kedudukan hukum Pemohon.
2. **Menolak eksepsi lainnya.**
3. **Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.**
Sembilan Hakim Konstitusi yang hadir termasuk Ketua MK Suhartoyo, bersama Hakim Saldi Isra, Ridwan Mansyur, Arsul Sani, Arief Hidayat, Anwar Usman, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, dan M. Guntur Hamzah, dengan Yunita Rhamadani sebagai Panitera Pengganti .
Kuasa hukum Pihak Terkait menyampaikan terima kasih kepada majelis atas kesempatan menjelaskan perbedaan informasi antara:
– Surat keterangan pengadilan yang menyatakan Akhmad Syarifuddin tidak pernah dipidana,
– SKCK yang mencantumkan adanya riwayat hukumnya.
Catatan ini menimbulkan spekulasi publik atas dugaan ketidakjujuran dalam proses pencalonan. Namun, sidang ini menjadi momen penting untuk mengakhiri fitnah tersebut secara konstitusional .
Hakim Ridwan Mansyur menegaskan bahwa:
Akhmad Syarifuddin telah menginformasikan status mantan terpidana secara terbuka kepada masyarakat melalui media cetak — yaitu Harian Palopo Pos pada 7 Maret 2025 — sebelum penetapan pasangan calon PSU oleh KPU pada 23 Maret 2025.
Pengumuman tersebut diulang pada edisi 9 April 2025, serta diumumkan melalui akun Instagram pada 10 April 2025 .
Langkah ini dianggap sebagai tindakan korektif (corrective action) yang konsisten dan dilakukan sebelum masa kampanye. MK menilai bahwa inisiatif ini telah memenuhi tujuan transparansi bagi pemilih agar dapat memilih secara sadar.
Selain itu, di saat pengisian formulir SKCK, Akhmad Syarifuddin secara jujur mencantumkan status mantan terpidana sesuai UU Pilkada. Polres Palopo juga mencantumkan pasal hukum terkait di dalam SKCK-nya .
MK menyimpulkan bahwa Bawaslu dan KPU tidak bisa menyalahkan Akhmad atas kekeliruan interpretasi administratif, karena Akhmad telah mengambil inisiatif transparan sebelum waktu kritis.
Dalam sejarah sebelumnya:
– Hasil PHPU sebelumnya (Perkara No. 168/PHPU.WAKO‑XXIII/2025) memerintahkan PSU karena diskualifikasi calon nomor urut 4. Setelah PSU, Naili–Akhmad kembali menang dengan 47.349 suara.
– Permohonan sengketa dari calon urut 3 (RMB–ATK) pun mengalami nasib serupa—tertolak karena didasarkan pada dalil dugaan ketidakjujuran administratif tanpa dampak nyata terhadap hasil pemungutan suara setelah correction dilakukan.
Putusan MK ini menggarisbawahi beberapa poin penting:
– Transparansi formal calon dalam menyampaikan riwayat hukum secara terbuka memiliki nilai hukum konstitusional yang tinggi.
– Pemerintah elektoral (Bawaslu dan KPU) wajib mengakomodasi perbaikan administrasi calon, selama dilakukan sebelum tahap kritis.
– MK bukan forum administratif pencalonan, kecuali jika terbukti memengaruhi hasil pemilihan secara substansial.
– KPU berhasil mengakomodasi izin corrective action, sementara MK memberikan legitimasi hukum bagi calon yang berinisiatif transparan di publik.
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa:
– Status mantan terpidana tidak secara otomatis menggugurkan pencalonan jika pemangku bersangkutan mengambil langkah korektif publik yang memadai.
– Perbaikan syarat administrasi tetap dapat dilakukan selama sesuai mekanisme hukum yang berlaku.
– Fungsi pengawasan publik terhadap proses demokratik harus dijaga agar hukum tidak menjadi alat tafsir sewenang-wenang.
Putusan ini memberi preseden penting bagi penyelenggaraan Pilkada mendatang: nilai transparansi hukum tidak bisa ditawar, apalagi jika menyangkut rekam jejak hukum calon kepala daerah. (Red)
Sumber Berita: Putusan Perkara nomor 326/PHPU.WAKO-XXIII/2025 – mkri.id