MAKASSAR, LemkiraNews.ID
Fenomena sosial yang mengkhawatirkan kembali terjadi di Kota Makassar. Dalam tiga tahun terakhir, angka perceraian terus menunjukkan tren tinggi. Teranyar, data Pengadilan Agama Makassar mengungkap bahwa sepanjang tahun 2024 tercatat 2.007 kasus perceraian, dengan mayoritas berasal dari permohonan cerai oleh pihak istri.
Dari jumlah itu, sebanyak 1.597 adalah cerai gugat, sementara 410 merupakan cerai talak yang diajukan oleh suami. Artinya, lebih dari 79 persen perceraian dipicu oleh inisiatif perempuan yang merasa tak lagi sanggup mempertahankan rumah tangga.
Yang mengagetkan, mayoritas para penggugat berstatus perempuan muda berusia 20 hingga 25 tahun. Artinya, banyak dari mereka yang masih dalam usia produktif, bahkan baru saja membina rumah tangga beberapa tahun saja.
“Penyebab terbanyak adalah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus,” ungkap Humas Pengadilan Agama Makassar, dalam keterangan resminya. Dari 2.007 kasus tersebut, 1.847 kasus terjadi akibat konflik internal yang berujung ketidakharmonisan, sementara sisanya disebabkan faktor seperti ditinggal pasangan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga zina, judi, dan alkohol.
Tak hanya menjadi angka statistik, para “janda baru” ini membawa cerita tentang kegagalan pernikahan dini, tekanan ekonomi, dan kurangnya kesiapan mental dalam berumah tangga. Pemerhati sosial di Makassar, Nuraeni Amir, menyebut bahwa lonjakan kasus ini menjadi alarm sosial yang tak bisa diabaikan.
“Fenomena ini menunjukkan bahwa pernikahan tak hanya soal cinta, tapi juga kesiapan ekonomi, pendidikan, dan komunikasi. Kalau itu tidak dimiliki pasangan muda, rumah tangga mudah goyah,” ujarnya.
Sementara itu, tren tahunan menunjukkan fluktuasi tipis. Tahun 2022, tercatat 2.635 kasus perceraian, dan tahun 2023 sedikit menurun menjadi 2.030 kasus. Meski sempat turun, angka tersebut masih tinggi untuk satu kota, dan menempatkan Makassar sebagai salah satu kota dengan angka perceraian tertinggi di Sulawesi Selatan.
Kondisi ini memicu desakan berbagai pihak agar pemerintah kota dan instansi terkait mulai menggencarkan program edukasi pranikah secara serius, khususnya kepada pasangan muda.
“Jangan tunggu angka janda muda terus meningkat baru kita bergerak. Ini masalah generasi,” kata Andi Ridwan, aktivis perlindungan perempuan dan anak.
Di tengah derasnya arus media sosial, tekanan gaya hidup, serta minimnya kesiapan emosional dan ekonomi, para perempuan muda di Makassar kini harus menghadapi realitas menjadi orang tua tunggal — menyandang status janda di usia yang seharusnya menjadi masa-masa pembangunan keluarga. (Red)
Catatan: Jika diperlukan, tulisan ini dapat dikembangkan menjadi laporan feature dengan kisah nyata beberapa perempuan muda korban perceraian, atau dijadikan bahan investigasi lanjutan terhadap peran lembaga keluarga dan keagamaan di tengah lonjakan kasus ini.(Red)
#Editor: Syarif Al Dhin#