Oleh: Syarif Al Dhin
Palopo-Lemkiranews.Id
Puisi “Sajak Sebatang Lisong” karya W.S. Rendra merupakan potret getir kehidupan masyarakat Indonesia pada masanya. Lewat untaian kata yang penuh emosi, Rendra menyajikan kritik tajam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang timpang. Dengan gaya khasnya yang lugas dan berani, puisi ini tetap relevan hingga kini, mencerminkan berbagai permasalahan yang belum terselesaikan dalam kehidupan bangsa.
Rendra membuka sajaknya dengan gambaran seorang individu yang menghisap sebatang lisong—sebuah metafora bagi perenungan dan kekecewaan mendalam terhadap kondisi negeri. Ia melihat Indonesia Raya tidak dalam kebanggaan, melainkan dengan keprihatinan mendalam. Ia mendengar suara 130 juta rakyat, tetapi di langit hanya ada segelintir penguasa dan cukong yang mengangkang dengan kepentingannya sendiri.
Metafora “merak di atas kepala mereka” menggambarkan kesombongan dan keangkuhan para elit yang hidup dalam kemewahan, sementara rakyat terhimpit dalam ketidakadilan. Kontras antara kemewahan segelintir orang dan penderitaan jutaan rakyat begitu kentara dalam bait-bait puisi ini.
Salah satu aspek yang sangat ditekankan dalam puisi ini adalah kondisi pendidikan yang memprihatinkan. Rendra menyebutkan “8 juta kanak-kanak tanpa pendidikan,” yang menggambarkan minimnya akses terhadap ilmu bagi generasi muda. Ia menyoroti bagaimana sistem pendidikan seolah tercerabut dari realitas kehidupan masyarakat. Papan tulis para pendidik tidak lagi mencerminkan persoalan nyata, melainkan hanya rutinitas kosong yang jauh dari substansi.
Pendidikan yang seharusnya menjadi gerbang menuju kemajuan malah menjadi jalan panjang tanpa pilihan. Tak ada pohon yang menaungi, tak ada tempat berteduh, hanya ketidakpastian yang membentang tanpa bayangan ujungnya. Kritik ini masih terasa relevan, mengingat hingga kini masih banyak anak-anak Indonesia yang tidak mendapatkan akses pendidikan layak.
Dalam bait berikutnya, Rendra menggambarkan ironi yang menyayat hati. “Sarjana-sarjana menganggur berburuk di jalan raya,” menunjukkan betapa pendidikan formal tidak menjamin masa depan yang cerah. Di satu sisi, ilmu berkembang dan teknologi diimpor, tetapi di sisi lain, bangsa sendiri masih tertatih-tatih mencari arah.
Kritik terhadap teknokrasi juga terasa kuat dalam puisi ini. Para teknokrat yang menganggap bangsa ini “malas” justru tak menyadari akar persoalan yang sebenarnya: kebijakan yang timpang, ketimpangan ekonomi, dan sistem yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Modernisasi yang dijalankan tanpa memerhatikan kondisi sosial hanya akan menciptakan jurang yang semakin dalam antara kaya dan miskin.
Rendra juga menyinggung peran para penyair dan seniman dalam pusaran ketidakadilan. Ia mengkritik “para penyair salon” yang hanya bersajak tentang anggur dan rembulan, tetapi menutup mata terhadap realitas pahit di sekitar mereka. Baginya, seni tidak boleh hanya menjadi hiburan kosong, melainkan harus menjadi alat perjuangan yang menyuarakan kebenaran.
“Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, menghayati sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata.” Pesan ini begitu kuat—Rendra mengajak para intelektual, seniman, dan masyarakat untuk terjun langsung ke dalam realitas sosial, merasakan penderitaan rakyat, dan tidak sekadar berbicara di ruang-ruang nyaman.
Meskipun ditulis bertahun-tahun lalu, “Sajak Sebatang Lisong” masih menggema hingga hari ini. Ketimpangan sosial, pendidikan yang belum merata, pengangguran, dan ketidakpedulian elit masih menjadi isu yang relevan. Puisi ini bukan hanya sekadar ungkapan perasaan, tetapi sebuah seruan bagi kita semua untuk lebih peka terhadap kondisi sekitar.
Seperti yang Rendra tanyakan di akhir puisinya: Kepadamu, aku bertanya. Pertanyaan ini tidak hanya ditujukan kepada penguasa, tetapi kepada kita semua. Apakah kita akan terus diam atau mulai bertindak untuk perubahan(Red)
Syarif Al Dhin menulis artikel yang membahas makna dan kritik sosial dalam puisi “Sajak Sebatang Lisong” karya W.S. Rendra..! (Sabtu, 22 Februari 2025)
#Editor: Syarif Al Dhin#