Latimojong, Lemkiranews.id — Suasana khidmat menyelimuti kaki pegunungan Latimojong pagi tadi saat warga dari dua rumpun adat, Kande Api dan Ne’ Pong Titing, secara bersama-sama melakukan relokasi kuburan leluhur mereka dari area konsesi pertambangan emas milik PT. Masmindo Dwi Area. Prosesi adat ini menjadi babak penting dalam dinamika relasi antara masyarakat adat dan investasi tambang di Kabupaten Luwu, Sabtu (28/6/2025).
Kegiatan relokasi dimulai sekitar pukul 09.00 Wita oleh sekitar 200 warga rumpun Kande Api. Mereka membongkar 18 makam yang tersebar di sekitar Pos 4 wilayah konsesi perusahaan. Beberapa jasad ditemukan dalam kondisi tidak utuh—hanya menyisakan tulang dan gigi. Semua sisa fisik jasad yang berhasil ditemukan kemudian ditempatkan secara layak dalam peti jenazah dan dibawa menuju tempat pemakaman umum yang telah disiapkan oleh pihak perusahaan, sekitar 5 kilometer dari lokasi awal.
Satu jam kemudian, giliran warga rumpun adat Ne’ Pong Titing melakukan pembongkaran dua titik makam di sekitar Pos 5. Namun, tidak ditemukan sisa jasad. Sebagai simbol penghormatan, tanah dari kuburan diambil dan dimasukkan ke dalam dua peti jenazah, yang kemudian juga dibawa ke tempat pemakaman umum sejauh 10 kilometer.
Sekitar pukul 13.00 Wita, prosesi pemakaman adat dilangsungkan. Jenazah rumpun Kande Api dimakamkan dengan tata cara suku Toraja, yaitu memasukkan peti ke dalam rumah adat Tongkonan. Tak lama berselang, dua peti jenazah Ne’ Pong Titing juga tiba dan dimakamkan secara simbolik dengan dikubur.
Seluruh rangkaian kegiatan yang berlangsung hingga pukul 14.00 Wita itu berjalan aman dan kondusif. Dalam prosesi tersebut, masing-masing rumpun adat turut membawa spanduk berisi pernyataan dukungan terhadap kelanjutan investasi PT. Masmindo Dwi Area di wilayah mereka.
Keberhasilan relokasi ini disebut tidak terlepas dari bentuk kompensasi yang telah disepakati bersama pihak perusahaan. “Kami melakukan ini demi menjaga marwah adat sekaligus membuka jalan bagi pembangunan yang membawa manfaat ke depan,” ujar seorang tetua adat Kande Api saat ditemui usai pemakaman.
Namun, di balik keberlangsungan relokasi tersebut, tersisa satu catatan penting yang menyiratkan belum sepenuhnya bulatnya suara di dalam rumpun adat Ne’ Pong Titing. Salah satu anggota keluarga, Bustam Titing, diketahui hingga kini masih melakukan aksi blokade terhadap akses jalan masuk ke Pos 5. Ia disebut belum mengetahui bahwa proses relokasi kuburan telah dilakukan oleh sebagian keluarganya yang diwakili oleh Kori Titing.
Konflik internal semacam ini mencerminkan kompleksitas dinamika sosial di antara masyarakat adat ketika berhadapan dengan masuknya investasi skala besar. Meski sebagian pihak menyatakan dukungan, tidak sedikit pula yang menyuarakan kekecewaan karena merasa tidak dilibatkan atau diinformasikan secara layak.
Proses relokasi kuburan adat merupakan peristiwa yang sarat makna dalam kultur masyarakat Toraja. Kuburan bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, melainkan simbol ikatan spiritual antara yang hidup dan leluhur. Ketika relokasi terjadi atas dasar investasi, maka proses tersebut bukan hanya soal logistik dan kompensasi, tapi juga soal bagaimana rasa hormat terhadap nilai-nilai lokal benar-benar dijaga.
PT. Masmindo Dwi Area, selaku pihak yang mendapatkan izin konsesi, mengklaim bahwa seluruh proses dilakukan melalui pendekatan dialogis dan berbasis kesepakatan bersama. Kendati begitu, kasus Bustam Titing menunjukkan bahwa komunikasi internal masyarakat adat perlu mendapat perhatian lebih, agar tidak menyisakan luka baru dalam perjalanan panjang investasi tambang emas di Latimojong.
Bagi warga rumpun adat Kande Api dan Ne’ Pong Titing, relokasi kuburan bukan sekadar pemindahan fisik—melainkan momentum yang membuka kembali hubungan spiritual dengan leluhur dan membuka babak baru dalam perjalanan adat mereka di tengah pusaran investasi pertambangan.
Lembang Pong Tindok, seorang tokoh adat Kande Api, berharap agar seluruh proses relokasi ini tidak dimaknai sebagai penghapusan jejak masa lalu, melainkan sebagai bentuk adaptasi budaya demi keberlangsungan hidup anak cucu. “Kami sudah merelakan tanah leluhur untuk perubahan. Tapi kami juga ingin agar PT. Masmindo menghormati setiap jengkal sejarah yang kami wariskan,” ujarnya dengan nada penuh harap.
Menurut Lembang, dukungan terhadap investasi tambang bukan berarti penyerahan total atas hak dan martabat adat. “Kami menaruh harapan besar, bukan hanya dalam bentuk kompensasi, tapi juga kepastian bahwa adat kami tetap dihormati, pemakaman dijaga, dan generasi kami mendapat manfaat nyata dari tambang ini.”
Sementara itu, Kori Titing, mewakili keluarga Ne’ Pong Titing yang terlibat dalam relokasi, menyampaikan harapan agar situasi internal rumpunnya bisa kembali menyatu. “Perbedaan pendapat adalah hal biasa, tapi jangan sampai kita terpecah belah. Saya berharap keluarga yang belum tahu (terkait relokasi) bisa segera diajak bicara dan disatukan,” katanya.
Ia juga berharap bahwa perusahaan dan pemerintah daerah bisa menjadi jembatan komunikasi antar rumpun, agar suara adat tidak terpecah dan keputusan-keputusan besar selalu melibatkan semua unsur keluarga. “Karena adat kami tidak bisa berjalan setengah hati. Bila ada satu yang tertinggal, maka seluruh roh leluhur kami bisa gelisah,” ujar Kori.
Meski prosesi pemakaman telah berlangsung dengan tenang dan penuh penghormatan, perasaan campur aduk masih menggelayuti sebagian warga. Ada rasa kehilangan, ada pula rasa lega karena tanah mereka kini diakui dan diberi nilai secara formal.
Namun dari semua itu, satu harapan tetap menggema: agar proses pembangunan dan eksplorasi tambang di Latimojong tidak melupakan akar budaya dan jati diri masyarakat adat. Harapan bahwa PT. Masmindo dan pemerintah tidak sekadar mengambil kekayaan alam, tetapi juga berinvestasi dalam pelestarian nilai, pendidikan adat, dan kesejahteraan jangka panjang.
“Relokasi sudah kami lakukan dengan ikhlas. Sekarang kami menunggu janji-janji itu ditepati,” pungkas Lembang Pong Tindok. (TIM/Red)
Catatan Redaksi:
Penting bagi seluruh pihak—baik korporasi, pemerintah, maupun komunitas adat—untuk terus mengedepankan pendekatan partisipatif dan transparan dalam setiap proses relokasi yang menyentuh aspek budaya dan spiritual masyarakat. Sebab, tanah mungkin bisa digantikan, tapi memori dan makna tak mudah direlokasi.