*18 Juli 2025*
Cibubur,Lemkiranews.Id
Dalam sebuah analisa politik yang menggugah kesadaran bangsa, Idris Hady, SE — intelektual Jonggol Bogor Timur, sekaligus pemerhati jalanan tentang dunia politik, plus Pembina Media Lemkiranews.id -menyuarakan sebuah refleksi keras dan tajam atas realitas politik Indonesia di era pemerintahan Joko Widodo. Melalui sebuah risalah panjang yang ia sebut sebagai _“Anatomi Politik Wajah-Wajah Jokower”_, Idris tidak hanya menyampaikan kritik biasa, tetapi membuka lapisan demi lapisan kekuasaan yang disebutnya telah direkayasa secara sistemik oleh jejaring pendukung Jokowi — dari level akar rumput hingga oligarki asing.
Menurut Idris, wajah-wajah Jokower bukan sekadar representasi dari kelompok loyalis atau pemilih fanatik, tetapi merupakan potret anatomi kekuasaan yang dibangun dengan metode transaksional, manipulatif, dan penuh kompromi terhadap konstitusi serta kedaulatan bangsa. “Ini bukan sekadar soal suka atau tidak suka terhadap seorang tokoh,” ujar Idris, “tetapi soal bagaimana sistem politik kita dibajak oleh kepentingan pragmatis dan kekuatan asing, yang pada akhirnya merugikan rakyat Indonesia secara luas.”
*1. Wajah Jokower Akar Rumput: Pragmatisme Karena Kemiskinan*
Idris mengawali kritiknya dengan membedah segmen pemilih Jokowi di tingkat akar rumput. Ia menyebut bahwa basis dukungan di kalangan ini dibangun bukan atas dasar program kerja, integritas, apalagi ideologi kenegaraan. “Yang dijual dalam kontestasi politik adalah uang dan sembako. Ini fakta tragis,” kata Idris. Data Badan Pusat Statistik yang ia kutip menunjukkan bahwa angka kemiskinan masih tinggi: 27 juta lebih pada 2014, dan sekitar 24 juta orang pada 2024.
Melalui eksploitasi bansos -dari Program Keluarga Harapan (PKH) hingga BPNT — masyarakat dijadikan objek manipulasi politik. Idris menyebut bahwa ini bukan sekadar bentuk pelanggaran etika, melainkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang nyata. “Jika bantuan sosial diberikan tepat waktu dan netral, maka itu sah. Tapi jika pengucurannya dimanipulasi demi momentum politik, maka itu adalah korupsi demokrasi,” tegasnya.
*2. Operator Politik & Timses: Demokrasi Jadi Lahan Panen*
Level kedua dalam anatomi Jokower menurut Idris adalah para operator politik di lapangan dan tim sukses. Mereka, menurutnya, tidak jauh beda dengan makelar. “Demokrasi telah dipreteli menjadi proyek lima tahunan. Mereka bukan memperjuangkan suara rakyat, tapi mencari cuan,” ujarnya. Dana kampanye, pengadaan alat peraga, bahkan logistik politik lainnya dikelola dalam sistem yang memungkinkan pemotongan, mark-up, dan keuntungan pribadi.
Mereka ini, menurut Idris, hanya bekerja selama masa kampanye dan tak memiliki komitmen pasca pemilu. “Sudah jual putus,” katanya. Namun kelompok ini tetap mendapat imbalan jika berhasil mendudukkan Jokowi atau kroninya di posisi strategis. Mulai dari jabatan komisaris BUMN hingga kursi duta besar menjadi kompensasi atas kerja politik yang sesungguhnya transaksional.
*3. Surveyor: Produsen Persepsi, Manipulator Realitas*
Yang paling membahayakan, menurut Idris, adalah keterlibatan lembaga survei dalam permainan politik. Ia menyebut mereka sebagai “produsen persepsi publik.” Lembaga-lembaga survei, katanya, kerap dimanfaatkan bukan untuk menggambarkan realitas, tetapi untuk membentuk realitas baru yang menguntungkan sang penguasa.
“Brand ‘Jokowi merakyat’ dibentuk oleh riset yang sudah direkayasa. Persepsi bahwa Jokowi bersih, ndeso tapi jujur, bekerja keras, bahkan mustahil korupsi — semuanya adalah konstruksi yang didesain agar menjual,” ujar Idris. Ia menegaskan, bahwa banyak lembaga survei saat ini lebih mirip biro iklan daripada entitas ilmiah.
*4. ASN dan Aparat: Ketika Netralitas Dikompromikan*
Wajah Jokower selanjutnya hadir dari kalangan ASN dan aparat keamanan. Idris menyebut mereka sebagai kelompok “savety playing” — mencari aman untuk posisi dan jabatan. Namun lebih dari itu, sebagian ASN dan aparat justru menjadi alat kekuasaan untuk membungkam kritik. Mulai dari intimidasi terhadap lawan politik, pembungkaman aksi demonstrasi, hingga manipulasi suara di TPS.
“Pemilu jujur tak akan terwujud jika aparat menjadi kaki tangan kekuasaan,” ujar Idris. Ia menambahkan bahwa peran netralitas ASN dan aparat bukan hanya soal hukum, tapi soal keberlangsungan demokrasi yang sehat.
*5. Pejabat Negara: Diam yang Mematikan*
Idris melanjutkan dengan potret pejabat negara yang ia sebut “Jokower Fasiq.” Mereka tahu kebijakan yang salah, tahu arah kekuasaan yang melenceng, tapi memilih diam demi kelangsungan karier. “Diamnya pejabat terhadap kezaliman adalah racun bagi republik ini,” katanya. Beberapa pejabat bahkan memilih menjilat dan mengamini semua keputusan rezim demi posisi yang lebih tinggi.
Dampaknya luar biasa: pengambil kebijakan menjadi sekadar pelaksana kehendak satu orang, bukan lagi pelayan publik. “Birokrasi tak lagi rasional, tapi menjadi mesin kepentingan oligarki,” ujar Idris.
*6. Politisi: Tersandera Kasus, Tak Berdaya Menolak*
Wajah Jokower lainnya tampak pada politisi yang terjerat kasus hukum. Mereka, menurut Idris, tidak berani berseberangan dengan Jokowi karena takut kasusnya dibuka. “KPK atau Kejaksaan bisa menjadi alat untuk menundukkan mereka,” ujarnya. Bahkan, ketua umum partai pun tunduk pada arah kekuasaan, dan parlemen hanya menjadi stempel.
“Ini yang membuat DPR tidak bisa mengawasi eksekutif. Sistem check and balance lumpuh,” tegas Idris.
*7. Kesamaan Etnis: Solidaritas Buta, Bahaya laten*
Idris juga menyoroti dimensi etnik dalam barisan Jokower. Ia menyoroti bagaimana ada dorongan solidaritas atas dasar kesamaan asal-usul yang mengabaikan aspek moral dan nasionalitas. “Solidaritas etnis memang manusiawi, tapi jika itu membutakan terhadap kejahatan politik, maka itu membahayakan,” kata Idris.
Ia mengingatkan bahwa negara ini milik seluruh anak bangsa, bukan alat bagi satu etnis atau korporasi untuk mengeksploitasi. “Solidaritas yang membabi buta akan merusak tatanan bangsa dan menguatkan penjajahan gaya baru,” tegasnya
*8. Oligarki: Aktor Utama di Balik Layar*
Puncak dari semua wajah Jokower, menurut Idris Hady, adalah kekuatan oligarki. Mereka adalah aktor sesungguhnya di balik layar kekuasaan. Mayoritas berasal dari entitas ekonomi-politik Tiongkok dan korporasi internasional. Mereka bukan hanya mendanai, tetapi merancang arah kebijakan nasional.
“Imbalan atas bantuan mereka bukan sekadar proyek, tapi konsesi sumber daya, pembiaran ekspansi bisnis, bahkan kontrol terhadap infrastruktur strategis,” ujar Idris. Menurutnya, Indonesia saat ini berada di ambang kolonialisasi gaya baru. “Grand design Indochina bukan sekadar istilah geopolitik, tapi skenario nyata yang sedang dijalankan,” pungkasnya
*Penutup: Nasionalisme Tidak Boleh Diam*
Sebagai warga negara yang tinggal di Cibubur, Idris Hady tidak menulis ini untuk menebar kebencian. Tapi, katanya, untuk membangunkan nalar dan nasionalisme masyarakat. “Negara ini sedang dikuasai bukan oleh pemimpin, tapi oleh kekuatan yang dibentuk oleh uang, ketakutan, dan kepentingan global,” tegasnya.
Ia menyerukan agar semua elemen bangsa — dari mahasiswa, ASN, ulama, jurnalis, hingga rakyat biasa — bangkit untuk menyelamatkan demokrasi.
“Jangan biarkan wajah-wajah Jokower yang menghancurkan negeri ini terus berjaya. Saatnya rakyat berdaulat, bukan menjadi korban rekayasa politik,” tutup Idris Hady, SE sambil memandang kisi-kisi jendela ruangan diskusi.(Tim/Red)
Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.