Oleh: Syarif Al Dhin
PALOPO-LEMKIRANEWS.ID
Di tengah gelombang revisi sejarah nasional yang tengah ramai dibicarakan di pusat kekuasaan, izinkan saya menarik benang sejarah ke satu sudut negeri yang kerap luput dari ingatan kolektif nasional: Luwu. Di tanah inilah saya belajar membaca dunia, sebelum membaca dunia lewat buku-buku sejarah yang kini ingin dirombak tanpa suara kami.
Luwu bukan sekadar nama kabupaten. Ia adalah peradaban tua, rumah dari kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, tempat bertemunya jalur rempah, dakwah, dan diplomasi lokal sejak abad ke-13. Pendidikan—bukan dalam bentuk sekolah formal, tapi dalam makna sejatinya: transfer nilai, pengetahuan, dan moralitas—sudah lama hidup di tanah ini. Dari tudang sipulung di bawah pohon asam, hingga pappasang yang diwariskan dari mulut ke mulut, Luwu mengajarkan bahwa pendidikan adalah bagian dari kehidupan, bukan semata kurikulum.
Namun sayang, sejarah Luwu terlalu sering dilupakan dari narasi besar Indonesia. Anak-anak kami membaca sejarah dari buku teks yang hanya mengenal Jawa dan Batavia. Padahal, jauh sebelum itu, Luwu telah mempraktikkan diplomasi lintas etnis dan keberagaman. Di sinilah saya menyadari bahwa pendidikan yang mencabut sejarah lokal adalah pendidikan yang membuat generasi kehilangan pijakan.
Saya masih ingat, di pelosok Walmas, guru-guru mengajar dengan semangat meski tanpa listrik, meski gaji telat berbulan-bulan. Mereka tidak hanya mengajar huruf dan angka, tetapi juga adat, etika, dan cinta kampung halaman. Saya melihat guru sebagai penjaga ingatan, dan sekolah sebagai ladang merdeka—asal tidak dijajah oleh narasi tunggal dari atas.
Hari ini, ketika pusat kekuasaan ingin menulis ulang sejarah, saya ingin bertanya: apakah Luwu akan kembali dilupakan? Apakah nilai-nilai pendidikan lokal kami—seperti sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge—akan tertulis dalam jilid sejarah yang dijanjikan itu? Atau, akan kembali dikubur di catatan kaki?
Kita butuh sejarah yang memanusiakan seluruh daerah, bukan sejarah yang menarasikan Indonesia sebagai pusat dan pinggiran. Kita butuh pendidikan yang mengakar, bukan hanya pintar menghafal. Di tanah Luwu, saya menyaksikan bagaimana pendidikan tanpa listrik bisa tetap bercahaya, karena ia bersumber dari hati, dari nilai, dan dari sejarah itu sendiri.
Bila sejarah adalah cermin, maka pendidikan adalah tangan yang memolesnya. Mari kita pastikan bahwa cermin itu tidak buram—dan tangan itu bukan milik satu kelompok saja. (ED/Red)
*Tentang Penulis: Syarif Al Dhin adalah penulis, pendidik, dan aktivis pemerhati kebudayaan lokal Sulawesi Selatan. Lahir dan besar di Luwu, ia aktif menyuarakan pentingnya pelestarian sejarah dan pendidikan berbasis nilai-nilai lokal*