Kontradiksi PP No. 47 Tahun 2008 dengan Perda Sulsel No. 2 Tahun 2017 tentang Wajib Belajar Pendidikan Menengah

Makassar -Lemkiranews.Id

Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Namun, dalam implementasinya, terkadang terjadi kontradiksi regulasi antara kebijakan nasional dan daerah. Salah satu contoh adalah perbedaan prinsip antara Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar dan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sulawesi Selatan No. 2 Tahun 2017 tentang Wajib Belajar Pendidikan Menengah.

PP No. 47 Tahun 2008 mengatur wajib belajar hanya sampai jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP). Sementara itu, Perda Sulsel No. 2 Tahun 2017 mewajibkan pendidikan menengah (SMA/SMK), yang tidak diatur dalam kebijakan nasional sebagai bagian dari program wajib belajar.

Kontradiksi ini menimbulkan polemik, terutama terkait pendanaan, kewenangan gubernur, serta tanggung jawab sekolah dalam menjalankan program tersebut.

1. Perbedaan Cakupan Wajib Belajar: Nasional vs. Daerah

PP No. 47 Tahun 2008 hanya mengatur wajib belajar 9 tahun (SD dan SMP).

Perda Sulsel No. 2 Tahun 2017 memperluas wajib belajar menjadi 12 tahun (termasuk SMA/SMK).

Kontradiksi ini memunculkan pertanyaan: apakah pemerintah daerah berhak memperluas program wajib belajar di luar ketentuan pemerintah pusat?

Menurut prinsip desentralisasi, pemerintah daerah memang memiliki wewenang membuat kebijakan pendidikan lokal. Namun, karena wajib belajar berkaitan dengan tanggung jawab finansial pemerintah, aturan ini bisa menimbulkan beban baru bagi pemerintah daerah dan sekolah.

2. Masalah Pendanaan: BOS vs. BOSDA

PP No. 47 Tahun 2008 mewajibkan pemerintah pusat membiayai program wajib belajar melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Perda Sulsel No. 2 Tahun 2017 tidak mendapat dukungan dari BOS pusat karena SMA/SMK tidak termasuk dalam wajib belajar nasional.

Sehingga, pemerintah provinsi harus mencari sumber pendanaan sendiri, seperti melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA). Namun, banyak daerah di Sulsel yang mengeluhkan keterbatasan anggaran untuk menjalankan kebijakan ini.

Jika BOSDA tidak tersedia atau tidak mencukupi, sekolah berpotensi menarik iuran dari orang tua siswa, yang pada akhirnya bertentangan dengan prinsip pendidikan gratis.

3. Kewenangan Gubernur dalam Mengeluarkan Pergub

Gubernur Sulsel memiliki tanggung jawab dalam mengatur pendidikan menengah berdasarkan Perda No. 2 Tahun 2017. Namun, beberapa permasalahan muncul:

1. Kurangnya kajian komprehensif sebelum menerbitkan peraturan gubernur (Pergub) tentang wajib belajar pendidikan menengah.

2. Tidak adanya sinkronisasi antara gubernur dan DPRD dalam menyiapkan skema anggaran yang realistis.

3. Sekolah menjadi korban karena harus menjalankan kebijakan tanpa dukungan finansial yang jelas, sehingga muncul dugaan korupsi dalam pengelolaan dana pendidikan.

Seharusnya, sebelum Pergub diterbitkan, perlu ada kajian mendalam dari Kementerian Pendidikan, DPR RI, akademisi, serta masyarakat untuk memastikan kebijakan ini dapat berjalan dengan baik.

4. Konsekuensi di Lapangan: Sekolah dan Masyarakat Kebingungan

Akibat kontradiksi antara PP No. 47 Tahun 2008 dan Perda Sulsel No. 2 Tahun 2017, terjadi beberapa dampak di lapangan:

Sekolah bingung apakah mereka harus menerapkan wajib belajar hingga SMA/SMK atau hanya mengikuti kebijakan pusat (SD-SMP).

Beberapa kepala sekolah tersandung kasus dugaan korupsi, karena mereka harus mencari cara untuk membiayai operasional sekolah tanpa dukungan dana yang memadai.

Masyarakat bingung, apakah pendidikan SMA/SMK benar-benar gratis atau masih memerlukan kontribusi dari orang tua.

Ketidaksepahaman ini membuat kebijakan wajib belajar di Sulsel menjadi kontroversial dan sulit diimplementasikan dengan baik.

Untuk mengatasi kontradiksi ini, diperlukan harmonisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Beberapa solusi yang bisa diterapkan:

1. Merevisi Perda Sulsel No. 2 Tahun 2017 agar tidak bertentangan dengan kebijakan nasional. Jika pendidikan menengah ingin dijadikan wajib belajar, harus ada koordinasi dengan pemerintah pusat untuk mendapatkan dukungan dana yang cukup.

2. Menyiapkan BOSDA yang memadai, sehingga sekolah tidak terbebani biaya operasional dan tidak perlu menarik iuran dari siswa.

3. Gubernur Sulsel harus melibatkan lebih banyak pihak dalam penyusunan Pergub, termasuk Kementerian Pendidikan, DPRD, serta organisasi pendidikan, agar kebijakan lebih realistis dan tidak membebani sekolah.

4. Memperjelas regulasi mengenai sanksi bagi sekolah agar mereka tidak menjadi korban kebijakan yang tidak sinkron antara pusat dan daerah.

Tanpa harmonisasi yang baik, Perda ini berisiko menimbulkan ketidakpastian hukum, membebani sekolah dan masyarakat, serta berpotensi menimbulkan tuduhan korupsi akibat lemahnya sistem pendanaan. Oleh karena itu, solusi terbaik adalah merevisi Perda dengan kajian yang lebih matang dan mempertimbangkan aspek pendanaan yang realistis. (Red)

#Editor: Syarif Al Dhin#

Risal
Author: Risal

Pemimpin Umum /Pemimpin Redaksi Lemkiranews.id

Pos terkait