Palopo, Lemkiranews.id – Di tengah kampanye nasional tentang reformasi birokrasi dan digitalisasi pelayanan publik, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kota Palopo justru kembali menjadi sorotan. Kasus terbaru yang menimpa seorang warga bernama Saddam Husein, membuka kembali luka lama tentang buruknya manajemen dan pelayanan di institusi vital ini, Rabu (18/6/2025).
Saddam hanya ingin memperbaiki data di KTP dan Kartu Keluarga agar sesuai dengan akta kelahiran, dokumen hukum yang secara konstitusi menjadi dasar utama penetapan identitas seseorang. Namun permohonannya ditolak. Pejabat Dukcapil, Hasni Latif, justru meminta Saddam untuk lebih dulu mengubah data pada ijazah pendidikan miliknya.
Padahal, berdasarkan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, akta kelahiran merupakan dokumen sumber, sementara ijazah bersifat turunan dan tidak boleh menjadi acuan utama dalam menentukan identitas hukum seseorang.
“Ini bentuk pembalikan logika hukum. Identitas sipil harusnya merujuk ke akta kelahiran, bukan ijazah. Kalau ini dibiarkan, rakyat kecil jadi korban,” tegas Fadly, anggota Forum Pemerhati Pelayanan Publik Kota Palopo (FMP3).
Apa yang dialami Saddam bukan kasus pertama. Rekam jejak pelayanan buruk Dukcapil Palopo telah terekam dalam berbagai peristiwa:
1. 2022, Komisi I DPRD Palopo meminta layanan jemput bola karena banyak warga di pelosok tak terlayani.
2. 2020, warga mengeluhkan sistem daring via WhatsApp dan SMS yang membingungkan saat pandemi, ditambah pembatasan waktu layanan yang justru membuat antrean makin panjang.
3. 2024, Dukcapil Palopo memusnahkan lebih dari 5.700 e-KTP dan ratusan KIA karena rusak atau tidak valid—indikasi adanya kesalahan input atau ketidaksesuaian data sistemik.
4. Beberapa kali terjadi kekurangan blangko e-KTP, membuat layanan tertunda hingga berminggu-minggu, menambah daftar frustasi warga.
5. Sistem antrean online yang sering penuh dan tidak sinkron dengan layanan offline, memunculkan praktik jalur belakang atau perantara informal untuk bisa dilayani.
Dengan semua catatan itu, kasus Saddam terasa seperti puncak gunung es, mengonfirmasi bahwa permasalahan di Dukcapil Palopo bersifat struktural dan berulang.
Masalah makin runyam ketika seorang wartawan yang mendampingi Saddam mencoba meminta salinan surat penolakan, agar bisa digunakan sebagai dasar pengurusan perubahan ijazah. Respons yang diterima sungguh mencengangkan:
“Wartawan dari mana ki? Jangan mentang-mentang wartawan mau mengatur-atur,” ucap Hasni Latif salah seorang pegawai dukcapil kota Palopo.
Pernyataan ini dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap profesi pers, serta pelanggaran terhadap UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Wartawan dalam konteks itu bukan sedang mengatur, tetapi menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap pelayanan publik.
“Saya hanya menjalankan tugas jurnalistik dan mendampingi warga. Permintaan tertulis adalah hak, bukan bentuk intervensi,” tegas jurnalis tersebut.
Semua ini memperlihatkan kegagalan Dukcapil Palopo dalam memahami hierarki hukum administrasi dan prinsip pelayanan berbasis hak. Ketika dokumen resmi negara seperti akta kelahiran dianggap lebih rendah dari ijazah, dan wartawan dianggap musuh transparansi, maka reformasi hanyalah jargon kosong.
“Jika praktik ini terus dibiarkan, negara justru menciptakan birokrasi diskriminatif dan tak konstitusional. Identitas itu hak, bukan hadiah dari birokrasi,” tutup Fadly.
Kami menyerukan kepada Ombudsman RI, Komnas HAM, Komisi Informasi, dan DPRD Palopo agar segera menyelidiki dan mengevaluasi total sistem layanan Dukcapil Kota Palopo. Jangan sampai institusi negara yang seharusnya melindungi hak sipil justru menjadi sumber penderitaan warga. (TIM/Red)
#Editor : Syarif Al Dhin