BARRU, Sulsel, LEMKIRANEWS.Id
Kasus dugaan pencabulan yang menimpa seorang perempuan penyandang disabilitas ganda di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, kini memasuki babak baru.
Agenda penuntutan terhadap terdakwa AM (71), pria lansia yang kini mendekam di Rutan Kejaksaan Negeri Barru, dijadwalkan digelar pada Selasa mendatang di Pengadilan Negeri Barru.
Sorotan tajam pun datang dari publik dan kalangan praktisi hukum.
Salah satunya adalah pengacara senior Kota Makassar, Firman SH, yang menegaskan bahwa pelaku layak dijerat dengan pasal berlapis dari UU TPKS dan KUHP.
Dalam pernyataannya kepada media, Firman menyatakan bahwa kasus ini sangat berat, bukan hanya karena korban merupakan penyandang disabilitas, tetapi juga karena adanya indikasi pelaku mencoba menyuap keluarga korban pascakejadian.
“Peristiwa ini tidak hanya mencoreng moral pelaku, tetapi menjadi cermin bagaimana perempuan dengan disabilitas masih sangat rentan terhadap tindak kejahatan seksual,” ujarnya.
Kronologi Kasus: Dari Salon Menuju Aksi Bejat
Peristiwa memilukan ini bermula saat AM (71) mendatangi sebuah salon di kawasan Pasar Pekkae, Kabupaten Barru.
Awalnya, pelaku bermaksud untuk memangkas rambut.
Namun, niat itu berubah ketika ia merasa tertarik pada para pegawai salon.
Ketika rayuannya ditolak secara tegas oleh pegawai, AM justru mencari celah untuk melampiaskan nafsunya.
Dengan berpura-pura hendak ke kamar mandi, pelaku kemudian masuk ke sebuah kamar di lantai satu salon, tempat korban seorang perempuan penyandang disabilitas fisik dan intelektual sedang tertidur.
Tanpa memperdulikan kondisi korban yang rentan, pelaku melakukan tindakan pencabulan.
Aksi ini dipergoki langsung oleh salah seorang pegawai salon dan ibu korban, yang mendengar kegaduhan dan segera menuju lokasi.
Sempat mencoba menyuap keluarga korban dengan uang sebesar Rp700.000 agar kasus tidak dilaporkan, pelaku justru semakin menambah beban moral dan hukum atas perbuatannya.
Kajian Hukum: KUHP dan UU TPKS Bisa Digunakan Bersamaan
Firman SH bersama rekannya, Aswandi Hijrah SH.MH dari Lembaga Hukum Keadilan Nusantara, menilai bahwa tindakan pelaku memenuhi unsur pelanggaran dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sekaligus Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“KUHP jelas mengatur larangan dan ancaman pidana bagi pelaku pencabulan. Pasal 289 dan 290 KUHP dapat digunakan dalam kasus ini karena ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap korban, serta korban berada dalam keadaan tidak berdaya,” ungkap Aswandi.
Sementara dari sisi UU TPKS, pelaku dapat dikenakan pasal-pasal yang memberikan perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas.
“UU TPKS sangat tegas dalam memberikan perlindungan terhadap korban disabilitas. Pasal 42 hingga 47 mengatur secara khusus bentuk perlindungan, termasuk kewajiban negara untuk memastikan keadilan dan perlakuan setara terhadap korban dengan kebutuhan khusus,” tambah Firman.
Dukungan Publik dan Permintaan Penegakan Hukum yang Tegas
Kasus ini menuai reaksi keras dari masyarakat Kabupaten Barru. Warga yang ditemui di sekitar pasar Pekkae menyatakan kekecewaannya atas tindakan pelaku, terlebih karena menyasar korban yang sangat rentan.
“Kami minta jaksa dan hakim memberi hukuman berat. Ini bukan sekadar pelecehan biasa. Korban adalah difabel, dan pelaku sudah tua, seharusnya memberi contoh, bukan mencoreng nama daerah,” kata seorang tokoh masyarakat setempat.
Sebagian warga bahkan mengusulkan agar terdakwa tidak hanya dihukum secara pidana, tetapi juga diberikan sanksi sosial.
“Kalau hanya penjara saja, tak cukup memberi efek jera. Nama baik Barru harus dijaga, dan pelaku harus diberi hukuman maksimal,” tegas warga lainnya.
Persidangan Tanpa Pendampingan Hukum untuk Korban
Mirisnya, selama enam kali persidangan yang telah berlangsung, korban belum mendapatkan pendampingan hukum atau kuasa hukum pribadi.
Hal ini mendapat sorotan dari banyak pihak, termasuk para aktivis hak disabilitas.
Namun pihak Pengadilan Negeri Barru menyatakan bahwa mereka telah berkoordinasi dengan instansi terkait untuk memberikan pendampingan sesuai prosedur.
Firman SH menekankan pentingnya pendampingan hukum terhadap korban, apalagi yang termasuk kelompok rentan.
“Tanpa kuasa hukum, hak-hak korban bisa saja terabaikan dalam proses hukum,” jelasnya.
Harapan pada Majelis Hakim dan Penegak Hukum
Kini publik menanti vonis dari majelis hakim yang akan memutuskan nasib terdakwa dalam waktu dekat.
Jaksa Penuntut Umum Kejari Barru, Muhammad Aslam, memastikan bahwa seluruh alat bukti, keterangan saksi, dan visum sudah dilampirkan dalam berkas tuntutan.
“Sudah saatnya hukum menunjukkan keberpihakannya kepada korban yang lemah. Ini bukan hanya soal keadilan, tetapi juga soal martabat kemanusiaan,” tutup Firman (*).