Kabar Baik! MK Putuskan Kritik ke Pemerintah di Medsos Bukan Tindak Pidana

Jakarta, Lemkiranews.id – Mahkamah Konstitusi (MK) membawa angin segar bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. Dalam putusan terbarunya, MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi terhadap Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Putusan ini menegaskan bahwa kritik terhadap pemerintah di media sosial tidak dapat dipidana, karena merupakan bagian dari pengawasan dan koreksi yang sah dalam negara demokrasi.

“Pada dasarnya, kritik dalam kaitannya dengan pasal tersebut adalah bagian dari pengawasan, koreksi, dan saran yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat,” tegas Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam pembacaan pertimbangan hukum, Selasa (29/4/2025).

Pasal 27A UU ITE selama ini kerap menjadi pasal karet yang menjerat warga hanya karena menyampaikan pendapat di ruang digital. Dengan putusan MK ini, ruang demokrasi kembali mendapat penguatan, menandai batas yang tegas antara kritik dan penghinaan.

Hakim Arief juga menambahkan bahwa kritik terhadap pejabat atau lembaga negara tidak boleh disamakan dengan serangan terhadap kehormatan pribadi. “Sepanjang kritik itu tidak disertai dengan niat mencemarkan nama baik secara personal, maka tidak bisa dipidana,” ujarnya.

Putusan ini disambut baik oleh pegiat demokrasi, jurnalis, hingga masyarakat sipil yang selama ini khawatir dengan penyalahgunaan pasal-pasal dalam UU ITE. Banyak yang berharap, keputusan ini menjadi titik balik untuk mendorong revisi menyeluruh terhadap UU ITE yang dinilai masih memiliki potensi pasal karet lainnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini disambut antusias oleh berbagai kalangan, khususnya aktivis, jurnalis, dan masyarakat sipil yang selama ini merasa terancam oleh penggunaan pasal-pasal karet dalam UU ITE.

Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, menilai keputusan MK sebagai tonggak penting dalam perlindungan kebebasan berekspresi di ruang digital. “Ini menunjukkan bahwa negara tidak bisa lagi mengkriminalisasi warga hanya karena menyampaikan kritik. Kritik adalah bagian dari demokrasi, bukan kejahatan,” ujarnya.

Senada dengan itu, aktivis HAM Usman Hamid menyebut keputusan ini sebagai kemenangan moral rakyat. “Banyak kasus kriminalisasi yang bersumber dari pasal 27A. MK telah memberi sinyal tegas bahwa negara harus belajar menerima kritik sebagai vitamin, bukan racun,” katanya.

Masyarakat pun berharap pemerintah dan aparat penegak hukum tidak lagi menyalahgunakan UU ITE untuk membungkam suara kritis. Mereka mendesak DPR dan pemerintah agar melanjutkan langkah MK ini dengan merevisi pasal-pasal lain yang rawan disalahgunakan, seperti Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 36 UU ITE.

“Putusan MK ini adalah permulaan, bukan akhir. Kita harus terus kawal agar ruang digital tetap menjadi wadah ekspresi yang aman, bukan jebakan hukum yang membungkam,” ujar Nurul, mahasiswa hukum di Jakarta.

Rakyat kini menaruh harapan besar bahwa Indonesia benar-benar bergerak menuju demokrasi digital yang sehat, di mana kritik tidak hanya dilindungi, tapi dihargai sebagai bentuk cinta terhadap negeri.

Dengan ini, rakyat tak lagi perlu takut menyuarakan kritik di media sosial—selama dilakukan dengan itikad baik dan demi kepentingan publik. Sebuah langkah maju untuk kebebasan berekspresi di era digital. (Red)

Editor: Syarif Al Dhin

Syarif Aldin
Author: Syarif Aldin

Pos terkait