Gowa, LemkiraNewsID — Tahun 1915 menjadi salah satu bab penting dalam perjalanan hidup Andi Mappanyukki, tokoh bangsawan Bugis yang kelak menjadi simbol perjuangan dan kebangkitan adat di Sulawesi Selatan. Pada masa ini, ia masih berusia muda, namun sudah memperlihatkan kecemerlangan pemikiran, ketegasan karakter, dan rasa tanggung jawab terhadap bangsanya. Kisah pemuda bangsawan dari Gowa ini merefleksikan dinamika politik, adat, dan kolonialisme yang membentuk arah sejarah Sulawesi Selatan.
Latar Keluarga dan Lingkungan Istana
Andi Mappanyukki lahir pada 28 Desember 1885 di Soppeng, dalam lingkup keluarga bangsawan Bugis. Ayahnya adalah La Pawawoi Karaeng Segeri, Raja Bone ke-31, dan ibunya berasal dari kalangan bangsawan tinggi Gowa. Dari garis keturunan ini, ia mewarisi dua darah kebesaran kerajaan: Bone dan Gowa, dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1915, Andi Mappanyukki sudah memasuki usia 30 tahun. Di usia ini, ia telah melewati masa pendidikan dan latihan kepemimpinan ala istana yang ketat. Ia dikenal cerdas, fasih dalam bahasa Belanda, dan memiliki pemahaman mendalam terhadap adat dan struktur kerajaan. Kehidupannya banyak diwarnai oleh konflik antara nilai-nilai adat dan tekanan kolonial Belanda.
Meniti Jejak Kepemimpinan di Bawah Bayang-Bayang Kolonialisme
Tahun 1915 adalah masa-masa di mana Hindia Belanda sedang memperkuat kekuasaannya di Sulawesi Selatan. Pemerintahan kolonial melakukan banyak intervensi terhadap kerajaan-kerajaan lokal, termasuk Bone dan Gowa. Banyak bangsawan muda dididik untuk menjadi alat kolonial, tetapi Andi Mappanyukki mengambil jalur berbeda.
Di usia mudanya, ia sudah memperlihatkan sikap nasionalistis dan pembela adat. Ia kerap mengkritik kebijakan Belanda yang melemahkan kedudukan raja-raja lokal dan memberangus peran adat dalam pemerintahan. Di saat banyak bangsawan muda lain tunduk pada kekuasaan kolonial demi kenyamanan jabatan, Andi Mappanyukki memilih tetap berdiri dalam nilai-nilai Bugis–Makassar yang luhur.
Ia aktif dalam diskusi adat, menulis dalam naskah-naskah kerajaan, serta terlibat dalam pelestarian Lontaraq, yakni sistem pengetahuan tradisional Bugis-Makassar. Kedekatannya dengan tokoh-tokoh adat, pandai bicara dan berwibawa, membuatnya disegani bukan hanya di Bone dan Gowa, tetapi juga oleh pihak Belanda yang diam-diam mengawasinya.
Gowa dan Api Perlawanan
Gowa pada awal abad ke-20 menjadi salah satu wilayah yang rentan terhadap gejolak anti-kolonial. Tradisi perlawanan Sultan Hasanuddin masih hidup dalam ingatan kolektif rakyat. Andi Mappanyukki yang berada dekat dengan lingkungan istana Gowa sering menyaksikan dinamika ini. Ia berinteraksi dengan banyak tokoh adat, tokoh muda, hingga ulama yang menentang dominasi Belanda.
Dalam catatan sejarah lisan, dikisahkan bahwa Andi Mappanyukki sering melakukan perjalanan ke berbagai daerah—dari Takalar, Maros, hingga Wajo—untuk menjalin komunikasi antar elite adat. Meskipun ia belum secara langsung mengangkat senjata, namun perannya sebagai jembatan antar-kerajaan dan pelestari adat menjadi fondasi penting bagi perlawanan budaya terhadap kolonialisme.
Pemuda Gowa yang Menjadi Raja Bone
Tahun-tahun awal seperti 1915 adalah fondasi penting dalam pembentukan karakter Andi Mappanyukki, yang kelak pada tahun 1931 akan dinobatkan sebagai Arung Bone ke-32, Raja Bone terakhir yang bertahta secara penuh. Ia tidak hanya dikenang sebagai raja, tapi juga pembela adat, pelindung budaya Bugis-Makassar, dan tokoh penting dalam sejarah Indonesia Timur.
Melalui jejaknya di Gowa saat muda, kita melihat bukan hanya seorang bangsawan biasa, tapi seorang tokoh yang menjembatani masa lalu dan masa depan bangsanya. Sosok Andi Mappanyukki muda adalah gambaran pemuda adat yang berani bersikap di tengah tekanan kekuasaan kolonial—teguh pada akar, tapi terbuka terhadap zaman.
Kutipan Sejarah tentang Andi Mappanyukki
1. “Andi Mappanyukki adalah benteng terakhir kejayaan adat Bugis di tengah arus kolonialisme dan modernisasi. Ia memilih adat sebagai jalan perlawanan.”
— Catatan Budaya Sulawesi Selatan, 1950-an.
2. “Di usia mudanya, Andi Mappanyukki telah menunjukkan sikapnya yang tegas: melindungi martabat kerajaan dan tidak tunduk pada bujukan jabatan dari pemerintah kolonial.”
— Arsip Kerajaan Bone, tahun 1931 (Prosesi Penobatan Arung Bone ke-32).
3. “Ia adalah pemuda Bugis yang tidak hanya mengenakan simbol bangsawan, tapi menjadikan adat sebagai pedoman hidup dan alat melawan penjajahan.”
— H.A. Mattulada, Sejarawan Sulawesi Selatan.
4. “Dalam diam, Andi Mappanyukki menyatukan para bangsawan muda dan pemangku adat. Ia tidak membawa senjata, tapi membawa naskah Lontaraq sebagai senjatanya.”
— Sejarah Lisan Masyarakat Gowa, dikumpulkan oleh Balai Adat Gowa, 1972.
5. “Jika Belanda menanam kekuasaan dengan paksaan, maka Andi Mappanyukki menumbuhkan kekuatan melalui kebijaksanaan adat.”
— Jurnal Adat dan Politik Bugis-Makassar, edisi 1963.
Berikut adalah sumber pustaka penting yang dapat kamu rujuk untuk menelusuri sejarah dan kiprah Andi Mappanyukki, khususnya saat masih muda di sekitar tahun 1915, serta perannya dalam kebudayaan dan perlawanan kolonial di Sulawesi Selatan:
DAFTAR SUMBER PUSTAKA TENTANG ANDI MAPPANYUKKI & SEJARAH BONE–GOWA
1. Mattulada, A. (1985).
“Latoa: Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis.”
Makassar: Hasanuddin University Press.
“Buku ini mengulas sistem adat dan kepemimpinan Bugis, termasuk pemikiran Andi Mappanyukki sebagai tokoh adat yang kuat”.
2. Abdurrazak Daeng Patunru (1980).
“Sejarah Kerajaan Bone.”
Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
“Sumber utama sejarah resmi Kerajaan Bone, termasuk tentang silsilah dan masa muda Andi Mappanyukki”.
3. Zainal Abidin Farid (1983).
“Raja-Raja Bone.”
Makassar: Lembaga Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
“Mengulas lengkap peran Andi Mappanyukki sebagai Arung Bone ke-32 dan tokoh penting dalam transisi adat ke era kemerdekaan”.
4. Pelras, Christian (1996).
“The Bugis.”
Oxford: Blackwell Publishers.
“Buku akademik berbahasa Inggris yang menggambarkan budaya Bugis secara mendalam, termasuk peran elite bangsawan seperti Andi Mappanyukki”.
5. Noorduyn, J. (1955).
“Een Achttiende-eeuws Boeginees Geschiedwerk.”
The Hague: Martinus Nijhoff.
“Meskipun fokus pada abad ke-18, karya Noorduyn adalah dasar penting dalam studi sejarah Bugis dan konteks sosial Andi Mappanyukki”.
6. Ammarell, Gene (2002).
“Bugis Navigation.”
New Haven: Yale University Press.
“Mengkaji tradisi intelektual dan budaya Bugis yang juga diasuh oleh para bangsawan seperti Andi Mappanyukki”.
7. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1977).
“Kumpulan Cerita Rakyat dan Sejarah Lisan Sulawesi Selatan.”
Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Memuat kisah lisan tentang perjalanan hidup Andi Mappanyukki yang dikumpulkan dari penutur adat di Bone dan Gowa.
8. Tim Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar (1994).
“Peranan Andi Mappanyukki dalam Sejarah Sulawesi Selatan.”
Makassar: Balai Kajian Sejarah.
“Kajian khusus tentang kiprah beliau dari muda hingga wafat”.
Catatan: Beberapa sumber di atas bisa diakses di Perpustakaan Universitas Hasanuddin, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), serta Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar.
Untuk kutipan sejarah lisan, sebaiknya juga merujuk ke koleksi wawancara adat yang terkumpul dalam proyek “Sasakdo” atau Lontaraq Digital.