Makassar – Lemkiranews.Id
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Jabatan Fungsional Guru, sertifikat pendidik menjadi persyaratan wajib bagi guru dalam jabatan fungsional. Berikut rincian kewajiban tersebut:
Guru yang Baru Diangkat: Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang diangkat sebagai guru dan belum memiliki sertifikat pendidik diwajibkan untuk mengikuti dan lulus pendidikan profesi guru dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun setelah diangkat.
Mantan Pengawas Sekolah, Penilik, dan Pamong Belajar yang sebelumnya menjabat sebagai pengawas sekolah, penilik, dan pamong belajar, dan kini dialihkan ke dalam jabatan fungsional guru, diwajibkan memiliki sertifikat pendidik dalam waktu 2 (dua) tahun sejak peraturan ini diberlakukan.
Kewajiban ini menegaskan pentingnya sertifikasi pendidik sebagai standar kompetensi profesional bagi guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Guru yang tidak memenuhi kewajiban memperoleh sertifikat pendidik sesuai waktu yang ditentukan akan Berpotensi tidak memenuhi syarat untuk menduduki jabatan fungsional guru dan dapat mengalami penyesuaian jabatan atau evaluasi status kepegawaiannya.
Peraturan terkait sertifikasi menegaskan bahwa sertifikat pendidik bukan sekadar dokumen administratif, melainkan bukti kompetensi profesional guru. Dengan sertifikasi, guru diharapkan mampu Memberikan pendidikan yang berkualitas, Memperoleh pengakuan formal atas kemampuan mereka, dan Mendapatkan insentif seperti tunjangan profesi yang layak.
Pendidikan Profesi Guru (PPG), program
yang digagas Kemendikbud Ristek, dirancang sebagai jawaban atas kebutuhan ini. PPG bertujuan memberikan pembekalan dan pengakuan formal terhadap kompetensi guru. Sayangnya, implementasi program ini menghadapi kendala serius, mulai dari keterbatasan kuota, biaya, hingga lamanya proses penyelesaian.
Akibatnya, ribuan guru, terutama yang telah lama mengabdi, masih terjebak dalam ketidakpastian untuk mendapatkan sertifikat pendidik.
Beban kerja yang disyaratkan, seperti kewajiban 24 jam tatap muka per minggu bagi guru bersertifikasi, bertujuan mengukur kontribusi nyata guru dalam proses pembelajaran. Meski kini aturan ini telah diperlonggar dengan pengakuan kegiatan lain sebagai beban kerja, persepsi bahwa sertifikasi adalah “beban tambahan” masih melekat kuat.
Kendati sertifikasi menawarkan berbagai manfaat, banyak guru yang justru kehilangan semangat untuk mengejar sertifikat pendidik. Meskipun apatisme merebak, sertifikasi pendidik tetap memegang harapan besar sebagai katalisator perubahan di dunia pendidikan. Sertifikasi harus benar-benar menjadi cerminan kompetensi guru, bukan sekadar formalitas administratif. Hal ini memerlukan evaluasi berbasis bukti nyata dari praktik mengajar.
Kewajiban sertifikasi pendidik sejatinya
adalah langkah strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Agar sertifikasi benar-benar menjadi bukti kompetensi dan bukan sekadar beban, pemerintah, institusi pendidikan, dan guru harus berjalan seiring. Sertifikasi harus dipahami sebagai wujud penghargaan terhadap profesi guru, bukan sekadar tuntutan birokrasi. Dengan demikian, harapan besar terhadap masa depan pendidikan Indonesia dapat terwujud melalui guru-guru yang kompeten, sejahtera, dan termotivasi untuk terus berkembang.(Tim/ Rd)
Penulis : Andi Aliyuddin.S.Pd.