Jakarta- Lemakiranews.Id
Pemerintah resmi menerbitkan regulasi baru soal pengangkatan kepala sekolah melalui Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025. Aturan ini menjadi penanda berakhirnya era kebijakan fleksibel yang diwariskan Nadiem Makarim lewat Permendikbud No. 40 Tahun 2021. Menteri Pendidikan yang baru, Abdul Muti, mengambil langkah tegas: semua kepala sekolah harus lolos seleksi nasional dan tak bisa diangkat sembarangan.
Langkah ini sontak menuai perhatian dunia pendidikan. Banyak pihak menyebut peraturan baru ini sebagai “rem darurat” atas kebijakan sebelumnya yang dianggap terlalu longgar dan membuka celah politisasi.
“Kami ingin memastikan bahwa kepala sekolah yang memimpin benar-benar profesional, punya rekam jejak baik, dan sudah teruji kapasitasnya,” tegas Abdul Muti dalam keterangan persnya.
Permendikbud No. 40 Tahun 2021 yang dirancang pada masa Nadiem, memberikan ruang otonomi lebih besar kepada satuan pendidikan. Pengangkatan kepala sekolah bisa dilakukan oleh Dinas Pendidikan atau yayasan tanpa harus melalui jalur seleksi nasional, asalkan memiliki sertifikat pelatihan.
Namun, di bawah Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025, mekanisme tersebut dihentikan. Kini, setiap calon kepala sekolah harus mengikuti seleksi nasional yang diawasi lembaga penjamin mutu pendidikan dan Kementerian.
Tak hanya itu, masa jabatan kepala sekolah juga diperketat. Jika sebelumnya bisa diperpanjang lebih dari dua periode atas dasar kinerja, kini ditetapkan maksimal dua periode (masing-masing empat tahun), tanpa kecuali.
Aturan baru ini akan berdampak langsung ke ribuan kepala sekolah aktif di seluruh Indonesia. Mereka yang masa jabatannya diperpanjang lewat kebijakan lama, kini bisa diganti jika tak memenuhi kualifikasi nasional.
“Ini bisa jadi gelombang mutasi besar-besaran. Tapi kami siap mengawal transisinya,” ujar Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Aditya Prasetyo.
Salah satu poin krusial adalah pembatasan wewenang yayasan atau Dinas Pendidikan dalam mengangkat kepala sekolah. Sebelumnya, banyak kritik bahwa jabatan kepala sekolah menjadi “proyek politik” atau ladang nepotisme di daerah.
“Regulasi ini bentuk kontrol. Kami ingin mengakhiri era pengangkatan karena kedekatan,” ujar Aditya.
Pengamat pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. M. Yusuf Rahman, menyambut baik regulasi baru ini. Namun ia mengingatkan bahwa tantangan besar akan muncul di daerah terpencil.
“Banyak daerah kekurangan guru senior, apalagi yang sudah bersertifikat kepala sekolah. Kalau tak diantisipasi, justru bisa bikin krisis kepemimpinan di sekolah-sekolah pedalaman,” katanya.
Lewat regulasi baru ini, pemerintah tampaknya serius membangun sistem kepemimpinan sekolah yang lebih profesional. Kepala sekolah bukan lagi sekadar “jabatan penghargaan”, tapi posisi strategis yang akan menentukan arah dan mutu pendidikan.
Regulasi baru yang diluncurkan oleh Mendikdasmen Abdul Muti menuai respons beragam dari kalangan pakar pendidikan melalui beberapa platform media pada Sabtu (24/5/2025). Sebagian besar menyambut positif upaya pemerintah membenahi tata kelola kepala sekolah, namun mereka juga mengingatkan adanya tantangan besar dalam implementasinya.
Prof. Dr. Suyatno, M.Pd (Pakar Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta):
“Langkah ini adalah bentuk reprofesionalisasi kepala sekolah. Kita butuh pemimpin sekolah yang bukan sekadar administrator, tapi visioner dan punya kapasitas manajerial. Tapi perlu disiapkan juga ekosistem pendukungnya—mulai dari pelatihan hingga sistem pemetaan kebutuhan guru dan kepala sekolah secara nasional.”
Dr. Indira Rachmawati, M.Ed (Pengamat Pendidikan dari Universitas Indonesia):
“Permendikdasmen No. 7/2025 memang menutup celah intervensi politik dan nepotisme. Tapi kita perlu waspada dengan daerah-daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Jangan sampai sekolah-sekolah di sana justru ditinggalkan karena tidak ada SDM yang memenuhi syarat.”
Dr. Nur Ali, Ketua Forum Guru Besar Pendidikan Indonesia (FGGPI):
“Pemerintah harus memastikan proses seleksi nasional benar-benar transparan dan bebas dari praktik transaksional. Jangan sampai aturan bagus ini justru dimanfaatkan oknum tertentu untuk membentuk ‘pasar baru’ jual beli sertifikat kepala sekolah.”
Hj. Marlia Sari, S.Pd., Aktivis Pendidikan Daerah (Aceh Selatan):
“Kami di daerah menyambut baik regulasi ini. Tapi mohon ada afirmasi bagi daerah yang kekurangan tenaga pendidik. Kalau semua harus punya pengalaman minimal 5 tahun dan sertifikasi nasional, maka banyak sekolah bisa vakum kepala sekolahnya. Solusinya mungkin dengan program fast-track berbasis afirmasi daerah.”
Dr. Hardianto, Peneliti Kebijakan Pendidikan di LIPI:
“Reformasi kebijakan tidak bisa hanya berhenti di atas kertas. Kita butuh sistem pengawasan dan pendampingan. Kepala sekolah harus diberi ruang bertumbuh, tapi juga dikawal dengan sistem evaluasi yang adil dan berkelanjutan.”
Para pakar sepakat bahwa Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025 adalah regulasi yang progresif. Namun, keberhasilannya sangat tergantung pada political will pemerintah pusat, kesiapan SDM di daerah, dan pengawasan terhadap implementasi.
Jika tidak diikuti dengan sistem pendukung yang kuat, peraturan ini bisa menjadi bumerang yang justru memperparah krisis kepemimpinan di sekolah-sekolah, terutama di wilayah terpencil.
Selanjutnya, apakah reformasi ini akan benar-benar membawa perubahan atau sekadar ganti nama kebijakan? Waktu dan konsistensi yang akan menjawabnya.
Namun, seperti biasa, regulasi bagus hanya akan berdampak jika implementasi di lapangan berjalan konsisten. Mampukah pemerintah menegakkan aturan ini tanpa kompromi?
Jawabannya ada di tahun-tahun mendatang. (TIM/Red)
#Editor: Syarif Al Dhin#