Diduga Langgar Prosedur, Polres Blora Digugat! Tim Hukum PPWI Gugat Kapolri Lewat Jalur Praperadilan

Jakarta, Lemkiranews.id – Langit keadilan kembali diuji. Kali ini, dua jurnalis dari Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jawa Tengah, Febrianto Adi Prayitno dan Siyanti, menjadi pusat perhatian publik usai ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Blora, Polda Jawa Tengah. Penetapan tersebut kini digugat oleh Tim Hukum PPWI lewat mekanisme praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Langkah ini bukan sekadar pembelaan terhadap individu, tapi sebuah perlawanan terhadap dugaan kriminalisasi pers yang dinilai mengancam pilar demokrasi di Indonesia.

Kedua wartawan ini dituduh melanggar Pasal 368 Ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 KUHP tentang pemerasan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Namun, menurut Tim Penasehat Hukum (PH) PPWI, tuduhan tersebut mengandung banyak kejanggalan dan proses hukumnya dinilai cacat prosedural.

“Bagaimana bisa dua jurnalis yang selama ini aktif meliput dan mengkritisi kebijakan publik, tiba-tiba dijadikan tersangka tanpa proses penyelidikan yang terbuka dan transparan?” ujar Dolfie Rompas, salah satu pengacara dari Tim Hukum PPWI.

Gugatan Serius, Lawan Kapolri hingga Kapolres

Gugatan praperadilan ini diajukan terhadap tiga institusi sekaligus:

–  Termohon I: Kapolri,

–  Termohon II: Kapolda Jawa Tengah,

–  Termohon III: Kapolres Blora.

Melalui Surat Kuasa Khusus Nomor: 10/PPWI-NASIONAL/SKK/VI-2025, Febrianto dan Siyanti menunjuk tujuh pengacara kawakan dari PPWI untuk mewakili mereka di pengadilan. Mereka diberi kuasa penuh untuk menghadiri sidang, mengajukan saksi dan bukti, serta melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang ke Mabes Polri, Komnas HAM, Kompolnas, dan Komisi III DPR RI.

PPWI menilai proses hukum yang berjalan saat ini mencerminkan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh penyidik. Jika hal ini terbukti dalam persidangan praperadilan, maka bukan hanya status tersangka yang gugur, tapi kredibilitas institusi penegak hukum juga ikut dipertaruhkan.

“Ini bukan hanya soal dua wartawan, ini soal menjaga marwah kebebasan pers dan mencegah preseden buruk yang bisa merugikan jurnalis lainnya di masa depan,” kata Ujang Kosasih, anggota Tim Hukum PPWI.

Kasus ini menuai simpati luas dari komunitas pers. Berbagai organisasi jurnalis dan masyarakat sipil menyerukan pentingnya perlindungan hukum terhadap wartawan, terutama yang bekerja di daerah dan kerap menghadapi tekanan saat menjalankan tugas jurnalistik.

Jika gugatan praperadilan ini dimenangkan, maka akan menjadi sinyal kuat bahwa aparat tidak bisa semena-mena dalam memperlakukan jurnalis yang kritis.

Kebebasan pers adalah jantung dari demokrasi. Ketika jurnalis dikriminalisasi karena karya dan kritiknya, maka yang dirampas bukan hanya hak individu, tapi juga hak publik atas informasi yang jujur dan berimbang.

Langkah hukum PPWI ini adalah alarm bagi seluruh pihak: bahwa hukum harus tegak lurus, dan kebebasan pers tak boleh dibungkam.

Pakar hukum dan kebebasan pers, Prof. Ali Syarif, menanggapi hangat polemik hukum yang menimpa dua wartawan PPWI Jawa Tengah dengan menegaskan pentingnya semua pihak bekerja dalam koridor Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Dalam pernyataannya yang disampaikan melalui pesan pribadi via WhatsApp kepada redaksi, Prof. Ali menyoroti posisi “hak jawab” sebagai prinsip fundamental dalam menjaga keseimbangan dan keadilan pemberitaan di media massa.

“Kita bekerja menurut UU Pers. Hak jawab adalah instrumen demokrasi yang wajib dihormati, bukan justru diabaikan apalagi dikriminalisasi,” ujar Prof. Ali dengan tegas, Rabu (4/6/2025).

Prof. Ali meluruskan bahwa dalam praktik jurnalistik, hak jawab bukanlah hak wartawan, melainkan hak publik—yakni hak dari siapa pun yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Wartawan dan media massa berkewajiban untuk memfasilitasi hak tersebut sebagai bentuk tanggung jawab etik dan profesional.

Menurutnya, Pasal 1 ayat (11) UU Pers secara eksplisit menyebut:

“Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.”

Hal ini dipertegas dalam Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan:

“Pers wajib melayani Hak Jawab.”

“Ini bukan hanya aturan normatif, tetapi prinsip dasar kebebasan pers yang bertanggung jawab. Jika ada pemberitaan yang dianggap merugikan, langkah pertama seharusnya adalah memberi ruang kepada pihak terkait untuk menyampaikan klarifikasi,” tambahnya.

Prof. Ali mengingatkan bahwa prosedur hak jawab harus dilakukan dengan:

1. Pihak yang merasa dirugikan mengajukan permintaan hak jawab kepada media.

2. Media wajib memberi tanggapan dalam waktu yang layak.

3. Hak jawab harus dipublikasikan di media yang sama, dengan porsi dan penempatan yang setara dengan berita awal.

“Langkah ini bertujuan untuk melindungi kehormatan nama baik seseorang serta mencegah penyebaran informasi yang bias atau menyesatkan,” tegas Prof. Ali.

Jika media massa mengabaikan hak jawab, menurut Prof. Ali, ada beberapa jalur hukum dan organisasi yang dapat ditempuh oleh pihak yang dirugikan:

Menggugat secara perdata atas dasar pencemaran nama baik.

Menggunakan mekanisme koreksi publik atau somasi.

Prof. Ali pun menyayangkan jika proses hukum terhadap jurnalis dilakukan tanpa lebih dulu menguji karya jurnalistik tersebut.

“Langkah pidana seharusnya menjadi opsi terakhir, bukan yang pertama. Karena itu bisa menimbulkan preseden buruk terhadap kebebasan pers dan iklim demokrasi di Indonesia,” pungkasnya.

Pernyataan Prof. Ali menjadi pengingat penting bagi semua pihak—baik aparat penegak hukum maupun masyarakat luas—bahwa jurnalisme yang sehat dan kritis harus dijaga, bukan dibungkam. Hak jawab, sebagai jantung dari prinsip jurnalistik yang adil, tidak boleh dikorbankan oleh kepentingan kekuasaan atau tekanan institusional. (SAD/Red)

Catatan : Untuk informasi lebih lanjut dan perkembangan kasus, pantau terus kanal resmi PPWI dan pemberitaan nasional.

Syarif Aldin
Author: Syarif Aldin

Pos terkait