Oleh: Syarif Al Dhin
Makassar- Lemkiranews. Id
Pernyataan Ketua Umum Pendiri RJN, Arfendy CFLE, yang menyebut wartawan profesional tidak perlu takut terhadap label “bodrex” menimbulkan perdebatan serius di kalangan jurnalis. Dalam artikel yang dirilis Buser TV pada Sabtu (26/7/2026), Arfendy mengajak wartawan menjadikan sebutan itu sebagai motivasi untuk meningkatkan kualitas kerja. Sebuah ajakan yang di permukaan tampak inspiratif, namun perlu dibedah secara kritis agar tidak menjebak kita dalam euforia pembenaran terhadap praktik yang mencederai etik jurnalistik.
*Mengubah Makna ‘BODREX’? Bahaya Normalisasi*
Dalam diskursus media, istilah “wartawan bodrex” selama ini dimaknai sebagai sindiran keras terhadap oknum wartawan gadungan atau tidak profesional—yang lebih sering muncul membawa amplop ketimbang pena, menekan narasumber daripada menulis berita, dan mencari keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan profesi.
Maka ketika ada pernyataan untuk tidak alergi terhadap sebutan “bodrex”, bahkan menjadikannya sebagai bukti integritas, kita wajib bertanya: Apakah ini bentuk klarifikasi, pembelaan, atau justru normalisasi?
Mengajak jurnalis untuk bangga pada cap negatif sama saja dengan membiarkan batas-batas profesionalisme menjadi kabur. Ini bukan soal sensitivitas, tapi soal tanggung jawab terhadap kehormatan profesi.
Jurnalis dan Wartawan: Beda Istilah, Sama Esensi
Dalam artikel tersebut juga disinggung perbedaan antara wartawan dan jurnalis, seakan-akan keduanya adalah dua profesi berbeda. Padahal secara yuridis dan praktis, kedua istilah ini merujuk pada entitas yang sama: orang yang melakukan kegiatan jurnalistik secara sistematis.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah menjelaskan, wartawan adalah orang yang secara rutin melaksanakan aktivitas jurnalistik seperti mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia pun tidak menyebut keduanya sebagai profesi yang berbeda secara fungsional.
Alih-alih membedah istilah, akan lebih konstruktif bila energi organisasi jurnalis digunakan untuk memperjelas perbedaan antara jurnalis profesional dan oknum penyalahguna profesi.
Integritas Tak Butuh Label—Butuh Keteladanan
Mengatakan bahwa cap ‘bodrex’ tidak perlu ditakuti karena bisa menjadi motivasi, adalah logika terbalik. Di tengah krisis kepercayaan terhadap media, publik justru menunggu wartawan-wartawan sejati—yang menjunjung tinggi etika, menjaga independensi, dan berpihak pada kebenaran.
Integritas tidak dibangun dari label, tetapi dari praktik nyata: bagaimana berita disusun secara jujur, sumber diverifikasi secara ketat, dan kepentingan publik ditempatkan di atas kepentingan pribadi.
Jika ada oknum yang mencoreng profesi, maka solusi bukan dengan mengubah makna kata, melainkan memperkuat kode etik, menegakkan disiplin organisasi, dan menunjukkan keteladanan.
Menjaga Marwah Profesi, Bukan Meromantisasi Celaan
Profesi wartawan sedang menghadapi tantangan serius—dari ancaman digitalisasi, tekanan ekonomi media, hingga praktik jurnalisme transaksional yang merebak di berbagai daerah. Di tengah situasi ini, organisasi pers seharusnya menjadi garda terdepan membersihkan nama baik profesi, bukan malah mencoba berdamai dengan label negatif yang sudah lama menggerogoti kepercayaan publik.
Kita tidak sedang kekurangan motivasi, yang kita butuhkan adalah keteladanan dan keberanian menegakkan standar. Dan itu hanya bisa diwujudkan bila semua pihak berani menolak segala bentuk pembenaran terhadap praktik tidak etis, termasuk yang berlindung di balik jargon motivasi. (Red)
Penulis adalah Kuli Tinta PPWI, jurnalis independen, pemerhati media, dan aktivis kebebasan pers