Belum Disahkan, RUU Luwu dan Tana Toraja Tersandera Moratorium dan Beban Legislasi DPR

Jakarta, LemkiraNewsID Hingga pertengahan 2025, dua Rancangan Undang-Undang (RUU) penting yang menyangkut penataan daerah di Provinsi Sulawesi Selatan masih terkatung-katung tanpa kepastian hukum. RUU tentang Kabupaten Luwu dan RUU tentang Kabupaten Tana Toraja, meski sudah masuk dalam daftar 20 RUU usulan inisiatif DPR sejak Juli 2024, belum juga dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

Padahal, kedua wilayah tersebut tidak hanya memiliki nilai administratif, tetapi juga sejarah panjang dan identitas budaya yang melekat erat dalam perjalanan Provinsi Sulawesi Selatan. Namun realitas politik dan kebijakan pusat membuat aspirasi masyarakat lokal tersandera.

Salah satu ganjalan utama adalah kebijakan moratorium pemekaran daerah yang masih diberlakukan pemerintah pusat sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tujuannya kala itu adalah menekan lonjakan Daerah Otonom Baru (DOB) yang dianggap membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hingga kini, kebijakan tersebut belum dicabut.

“RUU yang tidak langsung menciptakan DOB pun tetap tersentuh oleh kehati-hatian pemerintah. Termasuk RUU Luwu dan Tana Toraja yang dinilai belum sepenuhnya memenuhi standar fiskal mandiri,” kata pengamat otonomi daerah, Dr. Yunus Kaluku.

Selain itu, proses legislasi juga terganjal tumpukan beban kerja DPR dan belum tuntasnya kajian administratif dan naskah akademik yang menjadi syarat sahnya sebuah undang-undang.

Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengungkapkan bahwa secara administratif RUU Luwu dan Tana Toraja telah dibahas dan disetujui di tingkat komisi. Namun, untuk dibawa ke paripurna, diperlukan harmonisasi lebih lanjut dan kesepakatan lintas fraksi.

“RUU ini bukan hanya soal teknis wilayah. Tapi menyangkut sejarah, kedaulatan sosial-budaya, dan kejelasan identitas masyarakat lokal. Sayangnya, politik legislasi kadang tidak memihak pada wilayah yang tidak cukup kuat mendorong lobi,” ujarnya.

Ironisnya, sejumlah kabupaten/kota lain di Sulawesi Selatan seperti Makassar, Gowa, Maros, Soppeng, dan Enrekang justru telah berhasil diundangkan sebagai UU baru pada Oktober 2024 tahun lalu.

Di Luwu dan Tana Toraja, suara aspirasi masyarakat terus menggema. Mereka menolak disebut menuntut status provinsi baru. Yang diinginkan hanya satu: kejelasan hukum dan pengakuan dari negara.

“Kami tidak menuntut pemekaran. Kami hanya ingin ada UU yang mengakui identitas wilayah kami dan sesuai dengan kondisi terkini,” tutur Maria Toding, tokoh perempuan Tana Toraja.

Sementara itu, Tokoh Aliansi Pemuda Luwu, Syarifuddin, menilai keterlambatan pengesahan RUU ini sebagai bentuk ketidakadilan terhadap wilayah yang punya kontribusi sejarah terhadap Sulawesi Selatan.

“Negara seolah menutup mata terhadap fakta sejarah dan perjuangan masyarakat kami. Ini bukan sekadar RUU, tapi bagian dari rekonsiliasi kultural dan keadilan regional,” tegasnya.

Pada sisi lain, DPR RI justru telah mengesahkan 10 RUU Kabupaten/Kota dalam rapat paripurna ke-25 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2024-2025, yang digelar Kamis (24/7/2025). RUU tersebut berasal dari Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara.

Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, mengetuk palu tanda pengesahan setelah seluruh fraksi menyatakan setuju. Namun, nama Luwu dan Tana Toraja tak masuk daftar.

Kini, nasib RUU Luwu dan Tana Toraja masih menggantung. Tanpa jadwal pasti pembahasan lanjutan di paripurna, masa depan dua wilayah bersejarah ini seolah terhenti di lorong-lorong parlemen.

Dan ketika negara tak kunjung hadir, masyarakat tetap menyalakan harapan. Mereka percaya, sejarah tak bisa diabaikan. Dan pengakuan, bukan hadiah—melainkan hak yang harus ditegakkan. (Red)

Syarif Aldin
Author: Syarif Aldin

Pos terkait