NUNUKAN, Seimanggaris, LemkiraNewsID – Kebebasan pers, hak atas tanah, dan supremasi hukum di Indonesia kembali tercoreng. Peristiwa memalukan terjadi di Perum Seimanggaris, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Dua wartawan media Mabesnew, Andi Anwar dan Bungadiah, menjadi korban intimidasi, perampasan alat kerja, hingga penganiayaan saat meliput konflik lahan antara Kelompok Tani Maju Taka I & II dan PT Tunas Mandiri Lumbis (PT TML). Ironisnya, lahan tersebut sejatinya sudah berstatus inkracht berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA), namun fakta di lapangan berkata lain—putusan itu seperti dibuang ke tong sampah.
Senin, 4 Agustus 2025 – Berdasarkan salinan putusan MA yang dibawa kuasa hukum Yuses, S.H., M.H., warga Maju Taka I melakukan panen kelapa sawit di wilayah Inti II. Namun, panen tersebut diduga dirampas oleh pengawas PT TML bernama Alvin.
Kamis, 7 Agustus 2025 – Ketegangan memuncak. Dua oknum anggota Korem 092 Maharajalila Tanjung Selor, Ahmad Maulana dan Mil, menghadang petani dan mengambil paksa hasil panen kelompok tani.
Wartawan Bungadiah yang merekam insiden itu langsung menjadi sasaran. Ponselnya nyaris dirampas, dipaksa menghapus video, dan diancam akan “dicari” jika rekaman beredar.
Rekan seprofesinya, Andi Anwar, justru mengalami kekerasan fisik. Ahmad Maulana diduga mencoba mencabut parang dan mendorong korban hingga mengalami luka di siku dan bawah ketiak.
Yang lebih mengejutkan, setelah perampasan terjadi, kedua oknum TNI tersebut justru melaporkan kelompok tani ke Polres Nunukan dengan tuduhan… mencuri sawit mereka sendiri.
Salinan putusan MA secara jelas membatalkan akta-akta notaris PT TML yang terbukti dipalsukan, menyatakan pihak tergugat melakukan perbuatan melawan hukum, dan mengembalikan hak kelola kebun sawit kepada Zainuddin, direktur sah yang mewakili kelompok tani.
Putusan tersebut final dan mengikat—tidak ada ruang banding. Namun, eksekusinya nihil. Yang berjalan justru intimidasi terhadap petani dan jurnalis.
Upaya pelaporan oleh Bungadiah, Andi Anwar, dan Baba Laeda ke Polres Nunukan pada awalnya ditolak dengan alasan kasus melibatkan anggota TNI sehingga menjadi kewenangan Polisi Militer (POM). Laporan baru diterima oleh anggota POM Nunukan, Kurniawan, pada Rabu, 13 Agustus 2025.
Langkah ini memicu pertanyaan publik: mengapa kekerasan terhadap jurnalis dan perampasan hasil panen tidak langsung diusut tuntas oleh kepolisian?
Sejumlah pasal dan undang-undang diduga dilanggar dalam kasus ini:
UUD 1945 Pasal 28F – Hak memperoleh, menyimpan, dan menyampaikan informasi.
UUD 1945 Pasal 28G ayat (1) – Hak atas perlindungan diri dan rasa aman.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers – Hak mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi.
KUHP Pasal 351 – Penganiayaan.
KUHP Pasal 368 – Pemerasan/perampasan.
UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 30 – Kewajiban melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Kasus ini memantik kemarahan publik. Penggiat kebebasan pers, aktivis agraria, dan akademisi hukum menilai negara harus segera turun tangan.
“Kami mengecam keras kekerasan terhadap jurnalis, perampasan hasil panen rakyat, dan pengabaian putusan Mahkamah Agung. Panglima TNI, Kapolri, dan aparat penegak hukum wajib menindak tegas pelaku, melindungi kebebasan pers, dan memastikan putusan pengadilan tertinggi dijalankan tanpa intimidasi,” tegas perwakilan korban.
Kasus Seimanggaris bukan sekadar sengketa lahan—ini ujian besar bagi penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia. Jika putusan MA saja bisa diabaikan, apa lagi yang tersisa dari wibawa hukum di negeri ini?
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, yang juga alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 48 Lemhannas RI Tahun 2012, mengecam keras insiden kekerasan terhadap dua wartawan Mabesnew di Seimanggaris, Nunukan, serta pengabaian eksekusi putusan Mahkamah Agung yang memenangkan kelompok tani.
“Ini bukan sekadar pelanggaran terhadap kebebasan pers atau hak agraria rakyat, tetapi sudah masuk kategori pelecehan terhadap wibawa negara. Putusan MA adalah simbol tertinggi kedaulatan hukum. Mengabaikannya sama saja dengan menantang konstitusi,” tegas Wilson.
Wilson menilai, peristiwa ini mencerminkan krisis penegakan hukum yang berbahaya. Menurutnya, jika aparat penegak hukum dan pihak-pihak yang terlibat tidak segera diproses, hal ini akan menjadi preseden buruk yang membenarkan tindakan main hakim sendiri.
“Ketika wartawan dianiaya, alat kerjanya dirampas, dan hasil liputan dihapus paksa, itu bukan hanya merampas hak jurnalis, tapi juga merampas hak publik untuk mendapatkan informasi. Inilah bentuk nyata pembungkaman pers,” sambungnya.
Sebagai pimpinan organisasi pers nasional, Wilson mendesak Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan untuk turun tangan memastikan eksekusi putusan MA dilakukan, pelaku kekerasan terhadap jurnalis diproses hukum tanpa pandang bulu, dan memberikan perlindungan kepada semua pihak yang terlibat dalam mengawal kasus ini.
“Negara harus hadir. Jangan biarkan hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, sementara kelompok kuat bisa seenaknya menginjak putusan pengadilan,” pungkasnya. (SAD/Red)