Oleh: Rizal Rahman
( Pimpinan Redaksi LemkiraNewsID )
Makassar- Lemkiranews.Id
Di tengah tekanan fiskal dan gelombang defisit anggaran di sejumlah daerah, pemotongan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) atau tunjangan kinerja (tukin) ASN tiba-tiba menjadi solusi cepat yang dipilih sejumlah kepala daerah. Sayangnya, solusi instan ini justru bertentangan dengan semangat hukum dan asas keadilan.
Mari kita luruskan. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil tidak memberikan ruang hukum untuk memotong tunjangan ASN kecuali karena alasan pelanggaran disiplin. Pasal 10 PP tersebut menyebutkan secara eksplisit bahwa pemotongan tukin hanya berlaku bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan sah dalam jumlah hari tertentu.
Namun, kenyataan di lapangan jauh dari bunyi aturan. Sejumlah pemerintah daerah, dengan dalih defisit anggaran, memutuskan secara sepihak untuk memangkas TPP ASN—bahkan terhadap pegawai yang disiplin, rajin, dan tidak pernah absen.
Apakah ini bentuk pengelolaan anggaran yang adil dan bertanggung jawab? Jawabannya: *tidak”.
Pemerintah pusat melalui PP 5 Tahun 2024 memang telah menetapkan aturan baru terkait gaji dan tunjangan ASN, memperkuat posisi PP 94/2021 untuk diberlakukan penuh. Maka, sanksi pemotongan TPP kini memiliki dasar hukum yang kokoh—tetapi hanya jika dilakukan karena alasan pelanggaran disiplin, bukan karena anggaran daerah bocor di tempat lain.
Ironisnya, banyak ASN yang menjadi korban kebijakan ini tidak pernah melanggar disiplin kerja. Mereka hadir setiap hari, mengabdi tanpa cela, namun tetap dipotong penghasilannya. Yang lebih menyakitkan, pemotongan ini kerap dilakukan tanpa dialog, tanpa transparansi, tanpa perubahan APBD, dan tanpa empati.
Mari kita sadari satu hal: ASN bukan musuh anggaran. Mereka bukan penyebab defisit. TPP bukan insentif mewah, melainkan bagian dari struktur gaji yang menunjang pengabdian mereka. Ketika daerah gagal menyusun perencanaan fiskal yang realistis, mengorbankan ASN bukan jawaban—itu pengalihan kesalahan.
Jika benar-benar ingin menghemat anggaran, kepala daerah seharusnya:
– Meninjau ulang proyek mercusuar yang tidak prioritas.
– Memangkas belanja honorarium tak produktif.
– Menerapkan efisiensi operasional birokrasi.
– Bahkan, menunda tunjangan pejabat atau fasilitas elite sebelum menyentuh hak dasar ASN.
Seorang kepala daerah yang baik bukan hanya pandai bicara soal rakyat miskin, tetapi juga mampu menjaga kesejahteraan pegawai yang setiap hari melayani rakyat. ASN adalah frontline pelayanan publik. Jika mereka tidak dihargai, maka efeknya akan terasa langsung di masyarakat: layanan yang lambat, semangat kerja yang menurun, dan profesionalisme yang terganggu.
Jika kepala daerah belum mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya, maka mulailah dengan tidak menyengsarakan ASN yang masih bagian dari rakyat itu sendiri.
Defisit anggaran memang masalah serius. Tapi jangan biarkan solusi yang dipilih justru menabrak hukum dan mengorbankan moral pegawai. Pemotongan TPP harus menjadi opsi terakhir, bukan langkah pertama.
Pemimpin yang bijak akan mengajak semua pihak duduk bersama, mencari solusi komprehensif, bukan menuding dan menghukum pihak yang tidak bersalah. ASN patut dihargai, bukan dijadikan korban politik anggaran yang sembrono.
Pemotongan TPP karena defisit bukan hanya kebijakan keliru, tetapi juga kebijakan yang rapuh secara hukum. Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan memunculkan gelombang perlawanan hukum dari ASN yang merasa dizalimi. Karena itu, sudah saatnya kepala daerah kembali ke rel hukum, keadilan, dan kebijaksanaan.
Jangan biarkan ASN yang taat justru menerima perlakuan yang tidak patut. Karena jika pegawai yang baik pun dipotong haknya tanpa alasan sah, maka bukan hanya hukum yang diinjak, tetapi juga nurani kita sebagai bangsa. (Red)
Catatan Redaksi:
“Opini ini ditulis berdasarkan kajian atas PP 94 Tahun 2021 dan dinamika fiskal daerah. Redaksi membuka ruang tanggapan dari pejabat daerah, ASN, maupun pakar hukum yang ingin memberikan pandangan konstruktif atas isu ini”.