Banda Aceh, LemkiraNewsID – Dugaan penyalahgunaan dana earmark senilai lebih dari Rp132 miliar oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan Tahun Anggaran 2024 memicu sorotan publik. Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) mendesak Kejaksaan Tinggi Aceh agar segera mengusut tuntas kasus ini, yang dinilai berpotensi melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Ketua DPW Alamp Aksi Aceh, Mahmud Padang, menilai dana earmark yang seharusnya digunakan secara spesifik sesuai alokasi dan peruntukannya, justru digunakan untuk kegiatan yang tidak relevan. “Penggunaan dana earmark yang tidak pada tempatnya merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang, dan ini jelas bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (10/7/2025).
Berdasarkan Temuan BPK: Dana Dialihkan ke Kegiatan Tak Sesuai Alokasi
Mahmud merujuk pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI yang mengungkap dana earmark senilai Rp132.362.340.202,33 telah digunakan tidak sesuai peruntukan. Dana tersebut terdiri dari berbagai sumber seperti DAK Fisik dan Non Fisik, Dana Otsus, Dana Bagi Hasil Sawit, DAU sektor Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur, hingga Insentif Fiskal.
Berikut rincian dana yang disinyalir bermasalah:
– DAK Non Fisik 2023: Rp1,22 miliar,
– DAK Non Fisik 2024: Rp11,15 miliar,
– DAK Fisik 2024: Rp35,85 miliar,
– Otsus 2024: Rp16,65 miliar,
– DBH Sawit 2023–2024: Rp6,2 miliar,
– DAU (Pendidikan, Kesehatan, PU): Rp44,63 miliar,
– Insentif Fiskal: Rp4,35 miliar,
– Dana Non Kapitasi dan Hibah Rehabilitasi: Rp13,27 miliar.
Dari total dana sebesar Rp133,51 miliar, hanya tersisa kas daerah sekitar Rp1,14 miliar per 31 Desember 2024. Dengan demikian, total dana yang terpakai di luar alokasi mencapai Rp132,36 miliar.
Mahmud mengingatkan bahwa Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi menyatakan, setiap penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara dapat dijerat pidana. Selain pidana, sanksi administratif seperti pemberhentian jabatan juga dapat dikenakan kepada pelaku.
“Kami minta Kejati Aceh bergerak cepat. Jangan sampai kasus ini menguap tanpa kejelasan. Ratusan miliar uang negara harus dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Tak hanya soal dana earmark, Alamp Aksi juga menyoroti membengkaknya utang Pemkab Aceh Selatan pada tahun yang sama. Berdasarkan LHP BPK, utang belanja daerah mencapai Rp184,21 miliar, sehingga bila dikalkulasi dengan dana earmark yang sudah terpakai, kekurangan kemampuan keuangan daerah pada 2024 diperkirakan mencapai Rp267,36 miliar.
“Ini kondisi yang tidak wajar. Ada dugaan kuat bahwa tata kelola keuangan daerah dilakukan secara ugal-ugalan dan tidak transparan. Aparat penegak hukum harus turun tangan,” pungkas Mahmud.
Merujuk pada data dan temuan yang disampaikan Alamp Aksi, penyalahgunaan dana earmark di Aceh Selatan tidak hanya melanggar prinsip tata kelola anggaran yang baik, tetapi juga berpotensi kuat melanggar sejumlah aturan hukum, baik administrasi pemerintahan maupun pidana.
1. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana…”
Ancaman hukumannya: penjara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda hingga Rp1 miliar.
2. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Pasal 3 dan Pasal 15 menegaskan bahwa setiap penggunaan anggaran negara harus didasarkan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi, serta sesuai peruntukannya.
Penyimpangan dari alokasi dana earmark dapat dianggap sebagai pelanggaran atas asas keuangan negara dan melampaui kewenangan pengelola anggaran.
3. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap pejabat dilarang mengeluarkan atau memerintahkan pengeluaran atas beban APBN/APBD untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam anggaran.”
Artinya, pengalihan dana earmark ke kegiatan yang tidak sesuai alokasi merupakan bentuk pelanggaran terhadap sistem perbendaharaan negara.
4. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan Juknis Terkait DAK, DAU, dan Dana Otsus
Setiap jenis dana transfer, baik DAK Fisik, DAK Non-Fisik, DAU yang ditentukan penggunaannya, maupun Dana Otsus, telah memiliki petunjuk teknis (juknis) yang mengatur secara ketat penggunaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban dana.
Pelanggaran juknis ini dapat dikenakan sanksi administratif hingga pemotongan dana di tahun anggaran berikutnya, serta dapat menjadi indikasi awal tindak pidana jika terbukti ada unsur kesengajaan dan penyimpangan.
5. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 191 s/d 194 mengatur mengenai sanksi atas penyalahgunaan anggaran oleh pejabat daerah, baik secara administratif maupun pidana.
Mahmud Padang menegaskan bahwa pelanggaran-pelanggaran ini harus segera ditindak secara hukum, dan Kejati Aceh tidak boleh menunda proses penyelidikan lebih lanjut.
“Tidak cukup hanya dengan teguran administratif atau pengembalian dana. Bila ada unsur kesengajaan dan pelanggaran hukum, pelakunya harus diproses pidana. Ini uang rakyat, bukan milik pejabat,” tegas Mahmud.
Ia juga meminta Menteri Dalam Negeri, BPKP, dan KPK turut mengawasi dan mengambil langkah hukum atas dugaan penyimpangan tersebut, demi mencegah kerugian negara yang lebih besar dan menciptakan efek jera. (SAD/Red)
Catatan Redaksi:
Kasus ini akan terus dipantau Ketua DPW Alamp Aksi Aceh Mahmud Padang dan perbarui seiring proses penelusuran oleh lembaga penegak hukum. Jika Anda memiliki informasi tambahan terkait kasus ini, redaksi membuka saluran pelaporan untuk publik.