LAWAN!!!: Ketika Kewenangan Disewenang-wenangkan

Oleh: Qahar Raydin

Palopo, LemkiraNewsID – “Semau dewe” tafsir hukum, atas nama penjaga konstitusi, kini menjelma jadi kekuasaan yang tanpa lawan tanding. Lembaga yang katanya pengawal konstitusi malah menjelma jadi pembuat norma yang tak tertulis. Bukan dalam UUD, bukan juga dalam UU. Tapi hidup dan menari lewat putusan-putusan yang makin ke sini makin “kreatif”.

Mulai dari putusan 2010, yang dijadikan dasar yurisprudensi tahun 2022, lalu dikoreksi sedikit-sedikit di 2023 dan 2024—hingga kini, 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) makin giat memperluas tafsir dan… kewenangan. Tak lagi hanya menguji UU terhadap UUD, tapi juga ikut membentuk arah peradilan pemilu, bahkan menentukan siapa yang layak jadi calon pemimpin.

Lucu? Tidak. Ini serius…

Yang lebih menggelikan, UU tidak pernah direvisi secara eksplisit untuk mengakomodasi norma-norma hasil tafsir MK itu. DPR pun adem ayem. Padahal, seharusnya yurisprudensi tidak bisa menggantikan norma hukum yang berlaku umum.

– Yurisprudensi hanyalah pedoman dalam kasus serupa, bukan hukum yang berlaku universal.

Lantas, bagaimana mungkin MK begitu percaya diri menjadikan “hasil tafsir” sebagai rujukan mutlak dalam menilai, memutus, bahkan menuntun arah negara?

UU adalah turunan langsung dari UUD 1945.

Putusan MK bukan turunan apapun.

Ia adalah produk tafsir, bukan norma hukum positif.

Jika ini terus dibiarkan, kewenangan tumpang tindih bukan lagi kecelakaan, tapi jadi gaya pemerintahan.

Bayangkan, jika suatu saat Bawaslu mulai merasa,

“Ah, tak usah kami proses laporan ini. Toh nanti bisa di-MK-kan.”

Lalu KPU berkata,

“Ya sudah, jalankan saja. Nanti MK juga yang urus.”

Kacau….

Demokrasi berubah jadi sarkasme prosedural.

Pemilu jadi pilu.

APBN, APBD, bahkan duit kandidat, habis hanya untuk pembiayaan kontestasi berulang-ulang. Kita? Capek pulang-pergi ke TPS, lalu dianggap salah jika golput.

Ironi dalam demokrasi, dipertontonkan atas nama konstitusi.

Kini, saatnya kita berkata tegas:

LAWAN..!!!

Kewenangan yang disewenang-wenangkan.

Tafsir hukum yang tanpa batas.

Institusi yang makin besar kuasa, makin kecil akuntabilitas.

Check and balance bukan basa-basi.

Harus hidup. Harus kuat. Harus dijaga.

Kalau tidak, kita akan terus berada dalam siklus tafsir semaunya, aturan semaunya, dan demokrasi semaunya.

Dan kalau itu yang terjadi, hukum bukan lagi penjaga nilai.

Ia berubah jadi komoditas. (Red)

Palopo, 29 Juni 2025. Qahar Raydin, Pengamat Hukum Tata Negara & Demokrasi

Syarif Aldin
Author: Syarif Aldin

Pos terkait