80 Tahun Merdeka, Tapi Bangsa Ini Masih Tertidur dalam Cengkeraman Korporasi . Asing

Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.

Jakarta -Lemkiranews.Id

Delapan dekade sudah bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan fisik oleh Belanda dan Jepang. Namun, kemerdekaan sejati tampaknya masih sebatas simbolis. Mentalitas sebagai bangsa yang merdeka belum sepenuhnya tumbuh; bahkan setelah 80 tahun, kita seperti hanya terbangun sejenak lalu tertidur kembali. Hari ini, bangsa ini menghadapi krisis yang tak kasat mata namun sangat akut: *apatisme kolektif*.

Sebagaimana diuraikan dalam buku *“Kedaulatan SDA untuk Kesejahteraan Rakyat”* karya Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla., problem utama bangsa Indonesia bukan lagi hanya soal ekonomi atau politik, melainkan krisis kesadaran dan kepedulian nasional. *Apatisme terhadap penjajahan gaya baru*—melalui eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi dan asing—telah mengakar dari elit tertinggi hingga rakyat terbawah.

Ironisnya, konstitusi negara ini dengan tegas menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya: rakyat justru menanggung negara. Data menunjukan bahwa sekitar *80% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berasal dari pajak rakyat*, termasuk untuk membiayai pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Rakyat bahkan harus membayar untuk sekadar mengakses layanan kesehatan melalui skema seperti BPJS. Di sisi lain, emas, gas, minyak, nikel, dan batubara—yang membentang dari Sabang hingga Merauke—justru lebih banyak dinikmati oleh asing.

Negara, menurut penulis buku tersebut, kini lebih berperan sebagai _administrator perizinan_, bukan sebagai pengelola kekayaan alam secara mandiri. Pengelolaan strategis dan kedaulatan atas sumber daya alam telah diserahkan kepada korporasi global, dan kita hanya menerima sisa-sisanya. Lalu, di mana suara kita sebagai bangsa yang merdeka?

Kondisi ini menggambarkan adanya *disonansi antara semangat kemerdekaan dan realitas kebijakan negara*. Lagu kebangsaan kita, *Indonesia Raya*, dalam baitnya menyerukan _“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”,_ namun tampaknya hanya menjadi seruan yang hampa makna jika tidak disertai dengan kesadaran kolektif untuk bangkit dari keterlenaan.

Kini saatnya kita bertanya secara jujur:
Mengapa bangsa ini diam? Mengapa kita tetap apatis di tengah penjajahan ekonomi yang nyata?

Apatisme bukan hanya bentuk kegagalan psikologis, tapi adalah *pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan*. Ketika rakyat tidak peduli terhadap arah pengelolaan kekayaan nasional, ketika pemimpin-pemimpin negeri hanya menjadi penyambung lidah korporasi global, maka Indonesia bukanlah negara merdeka yang sejati.

Sebagai pewaris sah dari tanah air yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa, sudah seharusnya kita bangkit dan menyadari bahwa “kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai melalui kesadaran, keberanian, dan semangat untuk mengelola negeri ini sendiri, untuk kesejahteraan rakyatnya, bukan untuk kejayaan asing.”

*Hayo bangkit, bangsa Indonesia..!* Jangan hanya jadi penonton di negeri sendiri. Bangun jiwamu, bangun badanmu, untuk Indonesia Raya—bukan untuk kepentingan para penjajah gaya baru.

#Wallahu a’lam bis shawab#

Risal
Author: Risal

Pemimpin Umum /Pemimpin Redaksi Lemkiranews.id

Pos terkait