Lasusua, Kolaka Utara- Lemkiranews.Id
Gelombang protes terhadap kinerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terus meluas, seiring dengan terungkapnya data bahwa sekitar 28 juta rekening bank di Indonesia telah diblokir dalam kebijakan yang diklaim sebagai upaya pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Namun di balik dalih hukum tersebut, muncul gelombang penderitaan sunyi: warga kecil di pelosok daerah seperti Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, yang mendadak kehilangan akses terhadap tabungan mereka—bahkan untuk sekadar membeli beras.
Kebijakan ini, yang dilakukan secara masif dan tanpa notifikasi langsung ke pemilik rekening, dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Banyak warga tidak tahu-menahu alasan rekening mereka dibekukan. Tak sedikit pula dari mereka yang bahkan tidak memiliki akses internet untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Kisah memilukan datang dari Lasusua, ibu kota Kabupaten Kolaka Utara. Inisial HA seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari berjualan kue, mengaku rekening tabungannya yang berisi hasil jerih payah selama bertahun-tahun tiba-tiba tidak bisa diakses.
“Kami cuma nabung seratus-dua ratus ribu sebulan. Itu uang buat anak sekolah. Sekarang ATM kami ditolak, ke bank katanya rekening diblokir. Tapi kami tidak merasa salah,” ujar ibu HA dengan mata berkaca-kaca.
Hal serupa juga dialami para petani dan nelayan yang telah membuka rekening sejak program keuangan inklusif digaungkan pemerintah. Mereka kini terjerat dalam sistem yang tidak mereka pahami, dan lebih parahnya lagi, tidak tahu harus mengadu ke mana.
Kritik tajam mengarah kepada PPATK yang dianggap tidak menjalankan prinsip transparansi dan proporsionalitas dalam penegakan hukum. Para pengamat menyebut, pemblokiran rekening semestinya dilakukan secara selektif dan berdasarkan data yang kuat, bukan dengan pendekatan massal yang membabi buta.
“Kalau benar ini untuk membasmi tindak pidana pencucian uang, seharusnya ada pendekatan yang cermat. Ini malah menyasar masyarakat miskin dan pedesaan. Ini abuse of power dalam kebijakan keuangan,” kata Harun Makmur, akademisi hukum dari Universitas Halu Oleo.
Pihak bank pun terkesan cuci tangan. Banyak nasabah mengaku hanya diberi jawaban standar bahwa “pemblokiran dilakukan atas permintaan PPATK” dan tak bisa dibuka tanpa proses hukum. Dalam praktiknya, nasabah tak diberi kesempatan membela diri.
Kebijakan ini dinilai sebagai cermin kegagalan negara dalam melindungi hak ekonomi rakyat kecil. Padahal, konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk hidup layak, termasuk hak atas akses keuangan yang adil dan aman. Apalagi dalam konteks wilayah-wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) seperti Kolaka Utara, pemblokiran rekening sama saja dengan mematikan akses kehidupan dasar.
Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan Undang-Undang Perbankan justru menegaskan pentingnya perlindungan hak nasabah. Sayangnya, implementasi kebijakan ini justru menabrak semangat perlindungan konsumen dan HAM.
Sejumlah organisasi mahasiswa dan LSM HAM kini menyerukan audit publik terhadap PPATK dan mendesak Komnas HAM serta Ombudsman RI turun tangan menyelidiki pelanggaran sistematis ini.
“Kami minta Presiden Prabowo turun tangan. Jangan biarkan lembaga seperti PPATK membuat rakyat sengsara hanya karena data yang tidak akurat. Ini bukan urusan elite, ini tentang rakyat kecil yang tak bisa beli beras karena rekeningnya diblokir!” ujar Randi, koordinator aksi mahasiswa di Kendari.
Kini rakyat menanti, apakah negara akan berpihak pada rakyat kecil atau terus membiarkan lembaga negara membuat keputusan tanpa nurani?
Redaksi menerima testimoni dan pengaduan nasabah terdampak via email: red.lemkiranews@gmail.com
#Editor: Syarif Al Dhin#