Sukoharjo-Lemkiranews.Id
Layaknya kucing yang dipercaya memiliki sembilan nyawa, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) membuktikan bahwa vonis pailit tidak serta-merta menjadi akhir dari segalanya. Meski Pengadilan Niaga Semarang telah menyatakan perusahaan tekstil raksasa ini bangkrut pada 21 Oktober 2024, kenyataannya Sritex masih bisa berdiri tegak. Tak sepenuhnya berkat kemampuannya sendiri, tapi ada campur tangan banyak pihak yang turut memastikan roda bisnisnya tetap berputar.
Sebagai perusahaan yang telah diputus pailit, semestinya Sritex menjalani prosedur yang berlaku: seluruh asetnya dilelang oleh kurator untuk membayar utang kepada kreditur, dan operasionalnya pun seharusnya berhenti. Dalam dunia bisnis, pailit berarti kematian korporasi. Namun, Sritex berbeda, Sabtu (1/3/2025).
Perusahaan yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah ini bukan sekadar produsen tekstil biasa. Sejak lama, Sritex dikenal sebagai penyedia seragam militer, polisi, dan aparatur sipil negara (ASN). Posisi ini membuatnya tak bisa dipandang sebelah mata, terutama oleh pemangku kepentingan di pemerintahan.
Tak ingin melihat Sritex runtuh, Presiden Prabowo Subianto turun tangan. Pada Oktober 2024, ia memerintahkan jajaran menterinya untuk menyelamatkan perusahaan ini. Alasannya jelas: jika Sritex kolaps, ekonomi Sukoharjo bisa ikut tumbang. Sebagai salah satu pemberi kerja terbesar di daerah itu, kehancuran Sritex berarti ribuan buruh akan kehilangan pekerjaan, yang pada akhirnya bisa mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi.
Tak hanya itu, pejabat tinggi lainnya—mulai dari kepolisian, wakil menteri, hingga wakil presiden—ikut berperan dalam upaya penyelamatan ini. Salah satu langkah yang diambil adalah mempengaruhi kurator dan kreditur untuk menyetujui opsi “going concern”, yang berarti kelangsungan usaha tetap terjaga meskipun secara hukum perusahaan telah dinyatakan pailit.
Selain itu, manajemen Sritex juga mengajukan banding atas putusan pengadilan, menunjukkan bahwa mereka masih berusaha mencari celah untuk tetap bertahan.
Keberlanjutan operasional Sritex memunculkan banyak pertanyaan. Apakah ini murni karena Sritex masih memiliki potensi bisnis yang besar? Ataukah ada faktor privilege mengingat kedekatannya dengan pemerintah?
Dalam bisnis, perusahaan yang sudah dipailitkan biasanya akan menghadapi kesulitan besar untuk beroperasi kembali. Namun, Sritex justru mendapatkan semacam “jalur khusus” yang membuatnya tetap bisa menjalankan bisnis seperti biasa. Campur tangan pemerintah bisa menjadi pedang bermata dua—di satu sisi, ini menyelamatkan ekonomi lokal, tetapi di sisi lain, bisa menciptakan preseden bahwa perusahaan besar bisa lolos dari konsekuensi hukum karena faktor politis.
Terlepas dari kontroversinya, satu hal yang jelas: Sritex belum mati. Seperti kucing dengan sembilan nyawa, perusahaan ini berhasil bertahan dari situasi yang seharusnya menghancurkannya. Namun, pertanyaannya sekarang adalah seberapa lama Sritex bisa bertahan?
Apakah strategi penyelamatan ini benar-benar akan membuat Sritex kembali kuat? Ataukah ini hanya perpanjangan waktu sebelum akhirnya perusahaan ini benar-benar tumbang? Yang jelas, babak baru dalam perjalanan Sritex masih terus berlanjut—dan dunia bisnis akan terus menantikan bagaimana kisahnya berakhir. (Red)
#Editor: Syarif Al Dhin#