Maros -Lemkiranews.Id
Kabupaten Maros dikenal sebagai “Maros Keren”, tapi apakah kenyataan di lapangan sejalan dengan slogan itu? Jika melihat kondisi terkini di Kota Turikale, terutama kawasan pusat bisnis dan pemerintahan, yang tampak justru ironi lingkungan hidup yang mencolok. Sampah berserakan, PK-5 semrawut, dan sistem pengelolaan yang dinilai amburadul menjadi potret keseharian kota yang konon telah meraih delapan kali penghargaan Adipura dari pemerintah pusat.
“Lazim kita dengar ‘kebersihan adalah sebagian dari iman’, tapi kalau kita lihat kondisi kebersihan kota kita, wallahu a’lam bishawab,” kata Ismail Tantu, aktivis Lembaga Monitoring Kinerja Aparatur negara Indonesia (LEMKIRA) Indonesia, saat menyampaikan beberapa persoalan di Maros melalui chat pribadi kepada media, Minggu (13/4/2025).
Ismail secara gamblang mengkritisi kondisi Maros yang menurutnya hanya tampak bersih dan tertib di atas kertas. Di lapangan, fakta berbicara lain. Kawasan PTB (Pantai Tak Berombak) yang dikenal sebagai sentra kuliner malam, justru dikelilingi oleh tumpukan sampah yang tidak terurus. Pedagang kaki lima (PK-5) yang menjamur memang menggeliatkan roda ekonomi, namun di sisi lain memperparah wajah kota yang kian semrawut.
“TRAMO (Pasar Tradisional Modern) itu seharusnya jadi ikon modernisasi perdagangan Maros. Tapi yang tampak malah sampah di mana-mana. Ironisnya, di dalam kawasan pasar itu ada bank sampah, tapi banknya tidak kelihatan, sampahnya justru merajalela,” tutur Ismail.
Ia menilai, pengelolaan bank sampah di TRAMO harus dievaluasi total. Alih-alih menjadi solusi, fasilitas tersebut justru menjadi “penampungan liar” yang menimbulkan bau menyengat dan menjadi ancaman kesehatan masyarakat sekitar.
Ismail pun menyampaikan tiga poin penting sebagai masukan serius bagi Pemerintah Kabupaten Maros. Pertama, perlunya evaluasi menyeluruh terhadap lokasi dan fungsi bank sampah yang saat ini tidak berjalan efektif. Kedua, penataan ulang sistem pengelolaan sampah oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) serta pelibatan aktif masyarakat, khususnya para pelaku pasar dan PK-5. Ketiga, yang tidak kalah penting, adalah menjadikan penanganan sampah sebagai program prioritas daerah, termasuk melalui pengadaan armada pengangkut sampah dan perluasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
“Kami minta kepada Bapak Bupati Maros, paksa-paksakanlah sedikit anggaran untuk urusan ini. Karena inilah persoalan utamanya: minimnya armada dan keterbatasan lahan TPA. Kalau ini terus diabaikan, sampai kapan pun Maros akan tetap bau dan jorok, meski puluhan Adipura digantung di dinding kantor,” tegasnya.
Masyarakat pun bertanya-tanya: apakah penghargaan Adipura selama ini benar-benar mencerminkan kondisi riil di lapangan, atau sekadar pencitraan belaka?
Jika Pemkab Maros tidak segera berbenah, maka bukan hanya citra kota yang rusak, tapi juga kepercayaan publik yang mulai tergerus oleh sampah-sampah ketidakmampuan.
Menurut beberapa pakar lingkungan hidup, berikut adalah beberapa pelanggaran undang-undang yang berpotensi terjadi akibat buruknya pengelolaan sampah dan semrawutnya PK-5 di Kabupaten Maros:
1. Pelanggaran UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Pasal-pasal kunci yang berpotensi dilanggar:
Pasal 12:
Pemerintah daerah wajib menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan.
Pasal 13:
Pemda juga wajib melakukan pengurangan dan penanganan sampah, termasuk penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah.
Pasal 32:
Pemda dapat dikenai sanksi apabila tidak melaksanakan kewajibannya sesuai undang-undang, termasuk kelalaian yang menyebabkan pencemaran dan gangguan kesehatan masyarakat.
Implikasi: Jika Pemkab Maros lalai dalam memenuhi kewajiban ini, maka dapat dianggap melanggar hukum dan bisa dikenai sanksi administratif bahkan gugatan oleh masyarakat.
2. Pelanggaran UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 67:
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pasal 69 ayat (1) huruf a:
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan tercemarnya lingkungan hidup.
Implikasi: Jika pengelolaan sampah buruk menyebabkan pencemaran lingkungan (udara, air, tanah), maka Pemkab dan pihak terkait bisa dianggap melakukan pelanggaran terhadap hukum lingkungan.
3. Pelanggaran UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal 9 ayat (1):
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan yang sehat bagi masyarakat.
Pasal 174:
Ancaman pidana bagi pihak yang dengan sengaja menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat, termasuk dari limbah atau sampah yang tidak dikelola dengan baik.
Implikasi: Timbunan sampah yang menyebabkan bau, vektor penyakit, atau pencemaran bisa menjadi dasar tuntutan hukum.
4. Tata Kelola PK5 (Pedagang Kaki Lima) dan Pelanggaran Perda.
Implikasi: PK5 yang semrawut, menutup trotoar atau badan jalan, membuang sampah sembarangan — dan dibiarkan oleh Pemkab-dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap Perda yang wajib ditegakkan oleh Satpol PP. (Red)
#Editor: Syarif Al Dhin#