Makassar-Lemkiranews.Id
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) baru saja mengeluarkan kebijakan kontroversial melalui Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2024. Kebijakan ini mengintegrasikan jabatan fungsional pengawas sekolah, penilik sekolah, dan pamong belajar ke dalam jabatan fungsional guru. Dengan kata lain, setelah dua periode menjabat, seorang pengawas sekolah akan kembali ke posisi guru di kelas.
Tujuan utama kebijakan ini adalah meningkatkan efisiensi birokrasi dengan mengurangi lapisan struktural dalam sistem pendidikan. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar akan meningkatkan efektivitas supervisi akademik atau justru menurunkan standar mutu pendidikan?
Pengawas sekolah selama ini memiliki peran strategis dalam menjaga kualitas pendidikan. Mereka bertugas menilai, membina, dan memastikan efektivitas pengajaran di sekolah-sekolah. Dengan dihapusnya jabatan ini, muncul beberapa tantangan besar:
1. Menurunnya Kualitas Supervisi
Pengawas sekolah memiliki keahlian khusus dalam menilai dan membimbing guru. Jika supervisi sepenuhnya dialihkan ke kepala sekolah atau guru senior tanpa pelatihan yang cukup, kualitas supervisi bisa menurun.
2. Potensi Konflik Kepentingan
Pengawas sekolah sebelumnya bekerja secara independen, memberikan penilaian objektif terhadap kinerja guru dan kepala sekolah. Jika pengawasan dilakukan oleh kepala sekolah sendiri, ada potensi konflik kepentingan yang bisa menghambat penilaian yang jujur dan transparan.
3. Supervisi Berbasis Guru: Efektif atau Justru Beban Tambahan?
Salah satu alasan kebijakan ini adalah mendorong peran guru senior dalam supervisi melalui skema seperti Professional Learning Community (PLC). Namun, tanpa pelatihan dan dukungan yang memadai, ini bisa menjadi beban tambahan bagi guru yang sudah kewalahan dengan tugas mengajar.
Bagi pengawas yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri dalam jabatan ini, kembali menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Beberapa dampak potensial antara lain:
– Ketidakstabilan Karier
Banyak pengawas yang sudah terbiasa dengan peran supervisi dan memiliki keahlian di bidang ini. Kembali menjadi guru dapat menimbulkan perasaan “turun pangkat” yang memengaruhi motivasi kerja.
Adaptasi terhadap Perubahan Kurikulum
Pengawas yang telah lama meninggalkan kelas harus kembali beradaptasi dengan kurikulum, metode pembelajaran berbasis teknologi, dan dinamika kelas yang terus berubah.
– Faktor Usia
Sebagian besar pengawas yang kembali menjadi guru berusia 55 tahun ke atas. Kesiapan mereka untuk kembali mengajar di kelas dengan tuntutan fisik dan mental yang tinggi menjadi tantangan tersendiri.
Beberapa negara telah menerapkan kebijakan serupa, tetapi dengan pendekatan yang lebih matang:
– Australia, Jepang, Finlandia, dan Singapura memberikan jalur karier alternatif bagi pengawas yang kembali menjadi guru, seperti menjadi mentor, konsultan pendidikan, atau instruktur pelatihan guru.
– Amerika Serikat mengadopsi sistem Instructional Coaching, di mana mantan pengawas berperan sebagai pendamping berbasis bukti untuk meningkatkan kualitas pengajaran guru.
– Negara-negara Skandinavia memastikan bahwa mantan pengawas tetap mendapatkan gaji dan tunjangan yang mempertimbangkan pengalaman mereka dalam peran kepemimpinan.
Agar kebijakan ini tidak berdampak negatif pada dunia pendidikan, pemerintah perlu menyiapkan skema transisi yang lebih baik. Beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan antara lain:
1. Menjadikan Pengawas sebagai Mentor atau Konsultan.
Pengawas senior dapat berperan sebagai mentor bagi guru pemula, sehingga pengalaman mereka tetap dimanfaatkan.
2. Jalur Karier Alternatif di Dinas Pendidikan.
Pengawas yang tidak lagi bertugas di sekolah bisa ditempatkan dalam peran strategis di Dinas Pendidikan untuk membantu merumuskan kebijakan pendidikan.
3. Menjadi Dosen atau Instruktur Pelatihan Guru.
Dengan pengalaman mereka, mantan pengawas bisa berkontribusi di dunia akademik untuk membimbing calon guru dan tenaga pendidik lainnya.
4. Menyesuaikan Beban Mengajar
Jika harus kembali menjadi guru, beban mengajar sebaiknya dikurangi agar mereka bisa lebih fokus pada pembinaan guru dalam komunitas profesional seperti PLC.
5. Skema Insentif dan Sertifikasi Profesi Pengawas.
Kenaikan pangkat otomatis atau beasiswa studi lanjut bisa menjadi insentif bagi pengawas yang kembali ke posisi guru. Selain itu, sertifikasi profesi bisa memberikan rekognisi yang lebih baik dalam sistem pendidikan.
Meskipun tujuan kebijakan ini adalah efisiensi birokrasi, tanpa strategi transisi yang matang, dampaknya bisa merugikan kualitas supervisi pendidikan di Indonesia. Pengawas sekolah memiliki peran penting dalam menjaga standar mutu pengajaran, dan penghapusan jabatan ini bisa menimbulkan ketimpangan dalam sistem supervisi.
Pemerintah perlu mempertimbangkan jalur karier yang lebih fleksibel bagi pengawas, memastikan pelatihan yang cukup bagi guru atau kepala sekolah yang akan mengambil peran supervisi, serta menerapkan skema insentif agar transisi ini tidak berdampak negatif pada motivasi kerja tenaga pendidik. Jika tidak, sistem supervisi pendidikan bisa mengalami kemunduran, dan motivasi guru untuk menjadi pengawas di masa depan akan menurun.
Sebelum kebijakan ini sepenuhnya diterapkan, evaluasi yang lebih mendalam sangat diperlukan agar reformasi ini benar-benar membawa dampak positif bagi pendidikan Indonesia. (Red)
27 Maret 2025
#Penulis:Kuli Tinta Bumi Sawerigading Syarifuddin#