Profesionalisme Jajaran Polres Palopo Disorot, Kinerja Penyidik Dinilai Abaikan Prinsip Keadilan dan Restoratif Justice

Palopo, LemkiraNewsID — Penanganan kasus dugaan penganiayaan yang melibatkan dua warga Kota Palopo, Sulawesi Selatan, menuai sorotan publik. Dua pria yang terlibat dalam insiden adu jotos, yakni Mifta dan Gazali, kini ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Penetapan ganda tersebut memunculkan pertanyaan serius terkait profesionalisme dan akurasi penerapan hukum oleh penyidik Polsek Wara dan Polres Palopo.

Insiden bermula pada 3 Juni 2025, ketika Mifta, yang tinggal bersama istrinya Riska di rumah keluarga di Kelurahan Benteng, Kecamatan Wara Selatan, memanaskan sepeda motor sebelum berangkat kerja. Suara bising dari motor tersebut rupanya mengusik ketenangan Gazali—mantan suami Risma—yang kala itu berada di rumah tersebut untuk menjemput anaknya.

Diduga karena kesalahpahaman dalam menafsirkan ucapan Mifta dalam bahasa Bugis, suasana kian memanas. Kalimat “Masiri’ mi ko sibawa iyya’?” yang dilontarkan Mifta memicu kemarahan Gazali yang merasa tersinggung. Dua hari berselang, tepatnya 5 Juni, keduanya terlibat perkelahian fisik di tempat yang sama.

Akibat kejadian tersebut, Gazali mengalami pembengkakan dan dugaan fraktur pada kaki kanan, sementara Mifta mengalami luka berdarah di bagian mata kiri.

Yang menjadi sorotan adalah langkah cepat penyidik Polsek Wara yang langsung menetapkan Mifta sebagai tersangka pada 7 Juni, meski saat itu baru ia yang dilaporkan. Merasa keberatan dan tidak mendapatkan keadilan, pihak keluarga Mifta melaporkan balik Gazali dengan pendampingan kuasa hukum.

Tim kuasa hukum Mifta—yang terdiri dari Fuad Ardhi, Ilham Haerul, dan Rafiqah Muhajir—menilai penetapan status tersangka terhadap klien mereka terlalu tergesa-gesa dan tidak mencerminkan semangat keadilan.

“Kami menilai penerapan Pasal 351 KUHP kepada klien kami tidak tepat. Ini murni adu jotos—bukan penganiayaan sepihak. Keduanya mengalami luka, ada visum keduanya. Mestinya pendekatan yang digunakan adalah Restorative Justice,” kata Fuad Ardhi kepada wartawan, Jum’at (18/7/2025).

Para kuasa hukum juga menyesalkan bahwa upaya damai yang sempat dilakukan secara kekeluargaan justru kandas karena keberatan dari pihak keluarga Gazali. Padahal, kata mereka, penyelesaian non-litigasi justru lebih sesuai dengan konteks insiden ini.

Namun pihak kepolisian tetap melanjutkan proses hukum. Setelah melalui pemeriksaan saksi dan hasil visum dari RSUD Palemmai, Tandi, penyidik Polres Palopo akhirnya juga menetapkan Gazali sebagai tersangka.

Kasat Reskrim Polres Palopo, IPTU Syahrir, membenarkan hal tersebut. Ia menyatakan bahwa proses penyidikan telah sesuai prosedur, termasuk pelaksanaan gelar perkara. Hal serupa juga disampaikan oleh Kasi Humas Polres Palopo, AKP Supriadi, yang menyebut proses hukum sedang berjalan lancar.

Meski begitu, publik menyoroti penanganan kasus yang dianggap kurang mengedepankan pendekatan proporsional dan pencegahan konflik lanjutan. Beberapa aktivis hukum dan tokoh masyarakat setempat juga mulai mempertanyakan mengapa pendekatan restoratif tidak dijadikan prioritas dalam kasus dengan konteks kekeluargaan dan kesalahpahaman ini.

“Kalau semuanya langsung dipidanakan tanpa ada ruang damai, lalu fungsi mediasi dan semangat keadilan restoratif ini untuk apa?” ujar seorang tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya.

Pihak Mifta bersama kuasa hukumnya berharap kasus ini dapat dievaluasi kembali secara objektif dan adil, serta memberi ruang bagi penyelesaian yang lebih berorientasi pada kedamaian dan keutuhan sosial.

Penanganan kasus dugaan penganiayaan antara Mifta dan Gazali di Kota Palopo terus menjadi perhatian publik. Bukan hanya karena keduanya ditetapkan sebagai tersangka Pasal 351 KUHP, tapi juga karena langkah cepat penyidik dianggap mengabaikan prinsip keadilan yang berimbang dan tidak mengedepankan pendekatan Restorative Justice (RJ) yang seharusnya menjadi pilihan utama.

Kasus ini bermula dari insiden adu jotos antara dua pria yang masih memiliki hubungan keluarga melalui pernikahan. Namun, dalam waktu yang relatif singkat, Mifta ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polsek Wara. Tak terima, pihak Mifta balik melaporkan Gazali, hingga akhirnya keduanya sama-sama menjadi tersangka oleh jajaran penyidik Polres Palopo.

Keputusan penyidik ini menuai kritik dari kuasa hukum Mifta dan sejumlah pengamat hukum. Mereka menilai proses hukum yang dijalankan cenderung terburu-buru, tidak transparan, dan mengabaikan pendekatan hukum alternatif seperti Restorative Justice.

Perkara adu jotos ini sesungguhnya memenuhi syarat untuk diselesaikan lewat Restorative Justice. Hal itu mengacu pada Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 yang menyebutkan bahwa perkara dengan ancaman hukuman di bawah lima tahun, bukan residivis, dan tidak menimbulkan keresahan masyarakat, bisa dihentikan dengan pendekatan damai.

“Ini kasus kesalahpahaman keluarga yang seharusnya cukup diselesaikan secara damai. Apalagi kedua belah pihak mengalami luka dan sama-sama punya visum. Tapi yang terjadi justru pemidanaan terburu-buru,” kata Fuad Ardhi, salah satu kuasa hukum Mifta.

Pihak Mifta sempat berupaya berdamai melalui istrinya, namun langkah itu kandas karena keluarga Gazali memilih melanjutkan proses hukum. Meski begitu, para pemerhati hukum menilai, semestinya kepolisian aktif memfasilitasi perdamaian lanjutan—bukan malah mendorong kedua pihak ke ranah pidana.

Kritik tak berhenti di soal pendekatan RJ. Ketika media mencoba mengonfirmasi perkembangan penyidikan kepada Kanit Pidum Polres Palopo, pesan yang dikirim tak kunjung mendapat balasan. Ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada yang tak beres dalam penanganan perkara ini.

Dalam sistem hukum pidana Indonesia, seseorang hanya bisa ditetapkan sebagai tersangka jika memenuhi dua alat bukti yang cukup dan telah dilakukan gelar perkara sesuai KUHAP dan Peraturan Bareskrim Polri No. 3 Tahun 2014. Penetapan cepat terhadap Mifta tanpa lebih dulu mengkaji konteks perkelahian justru membuka peluang dilakukannya praperadilan.

“Jika penetapan tersangka dilakukan tanpa prosedur lengkap dan terburu-buru, maka itu bukan hanya cacat prosedur, tapi juga berpotensi melanggar hak asasi tersangka,” ujar salah satu dosen hukum pidana di Makassar, saat dimintai pendapat.

Sejumlah pihak juga mulai mendorong agar kinerja penyidik Polres Palopo dalam kasus ini diaudit secara internal oleh Propam Polri. Jika ditemukan pelanggaran kode etik, maka tindakan disipliner harus diberikan agar menjaga kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.

Lembaga swadaya masyarakat dan pemerhati hukum pun menyarankan agar Polres Palopo membuka kembali ruang dialog damai dan melibatkan tokoh masyarakat, kejaksaan, dan para kuasa hukum dalam gelar perkara terbuka.

“Jangan sampai hukum hanya jadi alat menghukum, bukan sarana menyelesaikan konflik sosial. Kapolri sudah mendorong pendekatan humanis dan restoratif, tapi kenapa di daerah ini seperti diabaikan?” pungkas seorang aktivis hukum dari LSM setempat.

Redaksi mengajak semua pihak untuk terus mengawal jalannya proses hukum agar tetap berpijak pada keadilan, kesetaraan, dan penyelesaian yang beradab. Penegakan hukum tidak boleh kehilangan arah hanya karena tekanan atau emosi sesaat. (Fdl/Red)

Sumber : Fadly PPWI Palopo

Syarif Aldin
Author: Syarif Aldin

Pos terkait