Luwu, Lemkiranews.id – Di balik sejarah panjang Kedatuan Luwu, tersimpan kisah dua sosok kakak-beradik yang memiliki peran sentral dalam menjaga marwah dan keadilan di Tana Luwu: La Patimanjawari alias Petta Pao bergelar Pancai Pao dan La Pattiware alias Petta Pattimang bergelar Raja atau Datu Luwu.
Keduanya adalah putra dari Maoge Datu Balubu—penguasa Luwu abad ke-13—dengan Datu Luwu E, Tenri Rawe yang hidup pada abad ke-14. Ikatan darah biru ini tidak hanya memperkuat garis keturunan Kedatuan, tetapi juga memperlihatkan harmoni peran dan tanggung jawab antara kekuasaan pemerintahan dan tatanan pengawasan adat.
Sebagai Datu Luwu, Petta Pattimang memegang tampuk pemerintahan, mengatur tata kelola kerajaan dan rakyatnya. Sementara sang kakak, Petta Pao (Pancai Pao), mengemban amanah agung: menjaga marwah Kedatuan dengan menjadi pengontrol sekaligus penuntun bagi adiknya dalam menjalankan roda pemerintahan. Fungsi ini bukan sekadar simbolik, melainkan refleksi nyata dari sistem pemerintahan berbasis kearifan lokal yang menjunjung tinggi keseimbangan antara kekuasaan dan keadilan.
Hingga hari ini, tatanan ini masih menjadi rujukan sakral dalam adat istiadat Kedatuan Luwu. Bahwa seorang Datu tidak boleh dipermalukan, namun rakyat pun tak boleh dizalimi. Di sinilah peran penting Pancai Pao, sebagai penyeimbang dan penjaga kehormatan, baik untuk kedatuan maupun masyarakat adatnya.
Kisah ini menjadi semakin relevan ketika menyimak dinamika terkini dalam Kedatuan Luwu, khususnya menyangkut perdamaian antara dua figur penting, Andi Iwan dan Andi Maradang. Keduanya merupakan bagian dari keluarga besar Kedatuan, dan jika ditarik secara genealogi adat, mereka disebut sebagai “adik-adik” dari garis Pancai Pao.
Dalam konteks ini, Abidin Arief To Pallawarukka, S.H., pemegang mandat adat Pancai Pao, menegaskan posisi netral dan peran aktifnya dalam menjaga hubungan kekeluargaan dan stabilitas adat. “Walaupun adat bukan lagi menjadi hukum tunggal, kami tetap mengedepankan tatanan leluhur. Kami terus menjaga komunikasi, agar kebersamaan dan kekerabatan tetap menjadi kekuatan utama Wija To Luwu,” ujarnya.
Sosok lain yang tak kalah penting adalah Balirante Andi Asrul Nyili Opu To Sau, pejabat adat yang berperan sebagai titik seimbang dalam struktur Kedatuan. Keberadaannya mencerminkan bahwa adat dan struktural modern bisa berdampingan. Inilah refleksi warisan Luwu yang tetap hidup dan beradaptasi dalam dinamika zaman.
Sejarah mencatat, Kerajaan Luwu berdiri sejak abad ke-10, dipimpin oleh Batara Guru sebagai Raja pertama. Memasuki era kolonial, Belanda membagi pemerintahan Luwu menjadi dua tingkatan: tinggi (oleh pemerintah kolonial) dan rendah (oleh swapraja). Namun setelah Proklamasi 1945, Kedatuan Luwu berintegrasi dalam NKRI, dan salah satu tokoh pentingnya, Andi Djemma, diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Petta Pao dan Petta Pattimang adalah gambaran ideal tentang kepemimpinan yang saling mengisi. Keduanya menanamkan nilai bahwa kekuasaan harus dikontrol oleh kearifan, dan adat harus mengayomi rakyat tanpa pandang bulu. Nilai-nilai ini tak lekang oleh zaman.
Sebagai warga negara, sudah sepatutnya kita menjunjung tinggi hukum nasional, sebagaimana amanat UUD 1945: bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Namun demikian, adat yang hidup dan menjaga moralitas sosial tetap harus dihargai, karena ia adalah napas panjang bangsa yang tidak bisa dihapus oleh waktu.
Kita semua, sebagai bagian dari Wija To Luwu, punya tanggung jawab menjaga warisan budaya dan adat, bukan untuk dikoyak, tetapi untuk diwariskan dalam kemuliaan. (SAD/Red)