Oleh: Saiful Huda Ems.
JAKARTA – LEMKIRANEWS.Id
Mendengarkan pernyataan Sekjen PDIP Mas Dr. Hasto Kristiyanto dan Teteh Prof. Connie Rahakundini Bakrie di Podcast Akbar Faizal Uncensored, dimana Mas Hasto bersaksi bahwa Jokowi ketika masih menjadi Presiden, pernah menginstruksikan pada KPK untuk segera menetapkan Anies Baswedan sebagai tersangka Kasus Formula E.
Saya kok tiba-tiba jadi teringat pada kesaksian Mantan Ketua KPK, Pak Agus Rahardjo yang dibentak oleh Jokowi atas penetapan Setyo Novanto sebagai tersangka oleh KPK. Saya juga teringat dengan hebohnya kasus Papa Minta Saham.
Jangan-jangan semuanya itu benar, bahwa Jokowi memang meminta saham Freeport dan juga saham atas hilirisasi Nikel sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Ekonom, alm. Faisal Basri dimana dana Nikel mengalir sampai ke Bobby Nasution menantu Jokowi sendiri.
Yang lebih mengejutkan lagi, saya kok jadi tiba-tiba teringat pula, bahwa Jokowi ketika masih menjadi Presiden juga pernah menginstruksikan pada Kepala Staf Presiden RI, yakni Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Moeldoko untuk sesegera mungkin mengambil alih Partai Demokrat dari tangan AHY dan SBY.
Kisah ini bermula dari keinginan kuat kader Partai Demokrat, yakni Bang H. Darmizal yang menginginkan adanya perubahan besar di Partai Demokrat. Bang H. Darmizal kemudian menggagas diselenggarakannya Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat.
Keinginan luhur dan mulia Bang H. Darmizal ini kemudian direspon baik oleh beberapa pendiri-pendiri dan tokoh-tokoh kader Partai Demokrat, yang di antaranya adalah Bang Jhoni Allen Marbun,Bang H. Marzuki Alie, Bang Hengky Lutungan, alm. Bang Marx Sopacua dll.
Datanglah kemudian Bang H. Darmizal ke Kantor Staf Presiden untuk menemui Jenderal TNI (Purn.) Moeldoko. Awalnya hanya ngopi-ngopi bersama, ngobrol yang ringan-ringan, namun kemudian pembahasan mulai berlanjut secara serius, yakni meminta Pak Moeldoko untuk menjadi Ketum Partai Demokrat menggantikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Bagi seorang mantan tentara yang terbiasa hidup disiplin dan berpikir konstruktif konstitusional seperti Pak Moeldoko ini, tindakan untuk mengambil alih kepemimpinan partai politik tanpa dilandasi oleh hukum, merupakan suatu pantangan. Namun jika dipikir harus ada perubahan besar di Partai Demokrat, ya harus diperbaiki dengan cara-cara yang benar sesuai dengan prosedur yang ada di Undang-Undang Partai Politik.
Pak Moeldoko kemudian meminta waktu untuk mempertimbangkan hal itu, tetapi pertemuan KSP Moeldoko dengan tokoh-tokoh Partai Demokrat itu telah membuat geger panggung politik Nusantara. Presiden Jokowi mendengar itu semua, kemudian memanfaatkan situasi itu untuk “menghabisi” lawan politiknya, yakni SBY.
Bagaimana saya bisa tau hal itu? Begini ceritanya. Setelah melakukan pertimbangan matang, Pak Moeldoko pun menyetujui diselenggarakannya KLB di The Hill Hotel and Resort, Sibolangit Deli Serdang Sumatera Utara 5 Maret 2021. KLB pun kemudian benar-benar dilaksanakan tepat waktu, dan menghasilkan keputusan di antaranya:
Pertama, memutuskan dan menetapkan Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Kedua, Ketua Umum Partai Demokrat AHY dan Kepengurusan DPP yang diketuai oleh AHY telah dinyatakan demisioner.
Para pengurus Partai Demokrat pimpinan AHY marah besar melihat peristiwa KLB Deli Serdang ini, Pak Moeldoko yang sejatinya hanya ingin membantu memperbaiki Partai Demokrat dituduh sebagai Pembegal Partai dll. Padahal sesungguhnya, Pak Moeldoko waktu itu mau menerima “lamaran” dari para kader, tokoh dan pendiri-pendiri Partai Demokrat itu atas instruksi Presiden Jokowi.
Saya dan sahabat-sahabat di kepengurusan Partai Demokrat hasil KLB Partai Demokrat ketika itu juga sangat percaya, bahwa mustahil sekali KSP Moeldoko bersedia menerima “lamaran” kami untuk mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat dari tangan AHY dan SBY jika Pak Moeldoko tidak mendapatkan instruksi dari Presiden Jokowi. Atau minimal setidaknya mendapatkan restu.
Tetapi apa yang terjadi kemudian? Menteri Hukum dan HAM, Pak Yasonna H. Laoly Pada 31 Maret 2021 menolak pengesahan Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang yang kami ajukan. Ini menjadi petunjuk besar bahwa Ketua Umum PDIP, Ibu Megawati Soekarno Putri menolak cara-cara jahat yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Kita semua tahu, Menkumham Pak Yasonna H. Laoly merupakan kader PDIP dan sangat dekat dengan Ibu Megawati Soekarno Putri. Ini berarti pula ada ketegasan moral dan hukum dari Pak Yasonna H. Laoly dan Ibu Megawati untuk menolak “instruksi tersembunyi” Presiden Jokowi kala itu. Maka jangan heran, di akhir masa kekuasaan Imperium Jokowi, Pak Yasonna H. Laoly yang direshuffle. Karena Pak Yasonna itu orangnya lurus seperti penggaris, beliau pasti tidak akan bisa diajak main “perkeliruan” oleh Jokowi.
Kami semua ketika itu tidak putus harapan, didasari keingin tahuan apa yang sebenarnya terjadi di lingkaran istana, kamipun melanjutkan perjuangan kami dengan menempuh upaya hukum hingga sampai ke tingkat Kasasi Mahkamah Agung.
Sebelum kami mengajukan Kasasi terhadap gugatan Keputusan Menkumham tersebut ke Mahkamah Agung, kami melakukan rapat terbatas, hanya berlima dengan Ketum kami, yakni Pak Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Moeldoko, Bang H. Darmizal, Bang Jhoni Allen Marbun dan Bang H. Marzuki Alie dan saya sendiri.
Dan ternyata ada hal yang sangat mengejutkan bagi kami berempat ketika itu (saya, Bang H. Darmizal, Bang Jhoni Allen Marbun dan Bang H. Marzuki Alie). Rasa penasaran yang dalam, apakah Presiden Jokowi telah terlibat dalam hal ini, telah terjawab dari ucapan Pak Moeldoko tanpa disengaja, alias beliau keceplos.
“Bagaimana ini, apakah akan terus dilanjutkan ke tingkat Kasasi?. Bagaimana pendapat Bang Jhoni Allen Marbun? Bagaimana pendapat Bang Marzuki Alie? Bagaimana pendapat Bang Darmizal? Bagaimana pendapat Adinda Saiful Huda?”. Tanya Pak Moeldoko pada kami berempat.
Satu persatu dari kami berempat memberikan tanggapannya masing-masing, sesuai dengan analisa politik yang kami berempat yakini. Setelah saya yang lebih memilih untuk mengemukakan pandangan politik yang terakhir, sayapun kemudian balik bertanya pada Ketum kami;”Pak Ketum, adakah hal yang disampaikan oleh Presiden Jokowi pada Pak Ketum?”. Tanya saya.
“Hemmm…beliau (Presiden Jokowi) bertanya (maksudnya bertanya pada KSP Pak Moeldoko), sudah sampai mana upaya hukumnya? Jangan sampai kita cari cara lain yang sangat terlihat. Harus dipikirkan betul-betul ini. Meng KPK kannya (maksudnya mencari-cari kesalahan AHY dan SBY dengan cara mentersangkakan nya melalui KPK), akan terlalu terlihat mencolok”. Jelas Pak Moeldoko yang menceritakan pada kami soal ucapan Presiden Jokowi.
Saya pura-pura masih penasaran apa yang dimaksud oleh ucapan Presiden Jokowi pada Pak Moeldoko itu, lalu saya bertanya lagi pada Pak Moeldoko,”Jadi bagaimana Pak, apakah tidak sebaiknya kita lanjutkan saja melalui Pengajuan Kasasi?”.
Pak Moeldoko pun menjawab:”Ya kalau tidak ada cara lain ya lakukan itu saja. Presiden (maksudnya Jokowi) juga sedang bingung bagaimana cara menghadapi Anies (maksudnya Anies Baswedan)”.
Situasi politik nasional kemudian berubah cepat, AHY dan SBY nampak mulai merapat ke Presiden Jokowi, hingga pengambil alihan Partai Demokrat nampak tidak diperlukan lagi oleh Presiden Jokowi. Jokowi selamat, asyik menikmati kekuasaannya, namun Pak Moeldoko masih dihujat orang dimana-mana sebagai Pembegal Partai.
Dahsyat sekali Jokowi mempermainkan sahabat-sahabat setianya. Pak Moeldoko kemudian memilih jalan diam, tidak bereaksi atau membalas apapun pada Jokowi meskipun karena bela-belain menuruti instruksi Jokowi, Pak Moeldoko dihujat dimana-mana. Pun demikian dengan Bang H. Darmizal, Bang Jhoni Allen Marbun dan Bang H. Marzuki Alie, diam pasrah saja tak mau membalas Jokowi.
Namun untuk saya tidak. Tak lama setelah kami tidak aktif lagi di Partai Demokrat pimpinan Pak Moeldoko, saya langsung mendeklarasikan Pembubaran Ormas HARIMAU JOKOWI, karena bagi saya Jokowi memang berkarakter penghianat dan harus dilawan !…(SHE).
24 November 2024.
Saiful Huda Ems (SHE). Mantan Ketua Departemen Komunikasi dan Informatika DPP Partai Demokrat Hasil KLB Pimpinan Jenderal TNI (Purn.) Moeldoko.