Editor: Andi Aliyuddin.S.Pd.
Makassar – Lemkiranews.Id
Konferensi PGRI Sulsel bukan lagi menghitung hari, tetapi tinggal menghitung Jam pasalnya pukul 20,00 sebentar malam di laksanakan pemilihan ketua PGRI, semoga para steering comitee sesegera mungkin mengikuti Permendik Riset Teknologi nomor 67 tahun 2024.Untuk menjadi calon ketua PGRI, terdapat beberapa persyaratan utama berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi. Berikut ini adalah persyaratan yang perlu dipenuhi:
1. Keanggotaan dan Pengalaman Organisasi:
Calon harus merupakan anggota aktif PGRI. Memiliki pengalaman sebagai pengurus di tingkat yang lebih rendah, seperti pengurus kabupaten/kota atau provinsi. Pengalaman ini menjadi dasar untuk maju ke tingkat kepengurusan nasional.
2. Pengusulan dan Verifikasi:
Nama calon diusulkan oleh pengurus PGRI tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional.
Nama-nama calon diverifikasi oleh panitia pemilihan dalam kongres untuk memastikan kebenaran dan keabsahannya.
3. Kompetensi dan Integritas:
Calon harus memiliki rekam jejak yang baik dalam organisasi, menunjukkan kompetensi dan integritas dalam tugas sebelumnya.
4. Proses Pemilihan:
Pemilihan dilakukan melalui sistem formatur, yang melibatkan beberapa tahap seperti pemilihan Ketua Umum, Ketua, dan Sekretaris Jenderal. Formatur ini kemudian menyusun susunan kepengurusan yang dilantik di hadapan kongres.
Persyaratan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih memiliki pengalaman, integritas, dan kompetensi untuk memajukan organisasi dan memperjuangkan kepentingan anggotanya.
Berdasarkan Permendikbud Ristek Nomor 67 Tahun 2024 tentang Fasilitasi Terhadap Organisasi Profesi Guru, ada sejumlah ketentuan penting yang relevan bagi calon ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Peraturan ini menegaskan bahwa kepengurusan organisasi profesi guru, termasuk PGRI, harus terdiri dari guru aktif yang terdata dalam sistem yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, organisasi profesi guru harus memiliki struktur organisasi yang jelas mulai dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota serta kode etik guru yang dijalankan oleh dewan kehormatan organisasi tersebut.
Aturan ini memberikan tantangan bagi organisasi seperti PGRI, terutama dalam proses pemilihan ketua yang sering kali mencakup calon dari kalangan non-guru aktif.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Hal ini menuntut penyesuaian agar kepemimpinan sesuai dengan peraturan baru untuk memperkuat sinergi organisasi dengan tujuan pendidikan nasional.
Pemilihan ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) telah lama menjadi ajang penting untuk menentukan arah dan kebijakan organisasi ini. Namun, belakangan muncul isu menarik: calon ketua yang berasal dari kalangan guru non-aktif, non-guru, hingga bukan guru sama sekali. Fenomena ini memunculkan berbagai reaksi, dari skeptisisme hingga pertanyaan besar tentang masa depan PGRI.
Secara prinsip, PGRI adalah organisasi profesi yang seharusnya diisi oleh guru aktif. Permendikbud Ristek No. 67 Tahun 2024 menegaskan bahwa pengurus organisasi profesi guru harus terdiri dari guru aktif yang terdaftar di sistem pemerintah. Namun, fakta di lapangan menunjukkan adanya calon yang tidak lagi berstatus guru atau bahkan tidak pernah menjadi guru.
Argumen pendukung menyebutkan bahwa pengalaman administratif atau kepemimpinan dalam organisasi cukup untuk memimpin PGRI. Namun, kritik muncul karena ketua non-guru dianggap tidak akan memahami sepenuhnya tantangan profesi guru, seperti masalah kesejahteraan atau dinamika kelas.
Kemunculan calon dari luar kalangan guru memunculkan kecurigaan tentang adanya campur tangan eksternal, baik dari politik maupun pihak lain yang berkepentingan. Ini bertentangan dengan semangat independensi PGRI sebagai organisasi profesi. PGRI harus menjadi benteng yang melindungi kepentingan guru, bukan ladang kompromi politik.
Menghadapi situasi ini, PGRI perlu mereformasi proses pemilihannya. Mungkin sudah saatnya organisasi mempertimbangkan kandidat dengan gabungan latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi, namun tetap menjaga prinsip bahwa calon ketua memahami dunia pendidikan secara mendalam.
Pemilihan ini harus menjadi momentum untuk refleksi. Apakah PGRI ingin tetap berakar pada nilai-nilai profesi guru, ataukah membuka ruang yang lebih luas untuk kepemimpinan lintas sektor? Yang jelas, keputusan ini akan menentukan apakah PGRI tetap relevan atau justru kehilangan identitasnya.( RDK)