Makassar -Lemkiranews.Id
Sulawesi Selatan kini menjadi zona merah bagi praktik mafia tanah. Tidak hanya daratan yang dipermainkan, bahkan laut dan hutan telah di kavling oleh kelompok-kelompok berkepentingan. Mulai dari kepemilikan sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di laut Makassar, perambahan hutan bakau di Maros, hingga polemik eksekusi lahan Hamrawati di Pettarani, semuanya menjadi bukti betapa maraknya praktik ilegal yang merugikan masyarakat kecil.
1. Laut yang Di kavling: Bisnis Properti yang Merambah Perairan.
Salah satu kasus yang menghebohkan adalah dugaan pengkavelingan laut di antara Pantai Indah Bosowa dan belakang Trans Studio Makassar. Berdasarkan citra satelit, luas area yang diduga telah di kavling mencapai 23 hektare. Pemiliknya? Sebuah perusahaan properti dan pertambangan yang telah mengantongi SHGB atas wilayah laut tersebut.
Kasus ini menunjukkan bagaimana praktik perizinan yang tidak transparan memungkinkan kawasan perairan—yang seharusnya menjadi milik publik—berubah menjadi kepemilikan pribadi.
2. Hutan yang Dicaplok: Perambahan Hutan Bakau di Maros.
Bukan hanya laut, hutan pun kini menjadi sasaran para mafia tanah. Ahmad Yusran, aktivis lingkungan dan Ketua Forum Komunitas Hijau, menyatakan bahwa hutan bakau di Maros telah di kavling dan bahkan disertifikatkan sebagai Hak Milik (SHM).
“Asli. Jadi tidak hanya SHGB di laut Makassar, tapi ada juga hutan bakau yang sudah bersertifikat hak milik di Maros,” ungkapnya.
Padahal, hutan bakau memiliki fungsi ekologis yang sangat penting dalam mencegah abrasi dan menjadi habitat bagi berbagai spesies. Ketika mafia tanah berhasil mendapatkan sertifikat atas kawasan konservasi ini, maka lingkungan dan masyarakat lokal akan menjadi pihak yang paling dirugikan.
3. Lahan Warga yang Dirampas: Polemik Pettarani dan Dugaan Keterlibatan Mafia Peradilan.
Kasus eksekusi lahan Hamrawati dkk di Jalan Pettarani, Makassar, semakin menguatkan dugaan bahwa mafia tanah tidak bekerja sendirian—mereka beroperasi dengan dukungan mafia peradilan.
Sejumlah ahli waris Hamad Yusuf bahkan mengirimkan surat kepada Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk meminta keadilan. Mereka mempertanyakan bagaimana lahan seluas 12.931 meter persegi, yang telah mereka kuasai lebih dari 80 tahun, bisa dieksekusi begitu saja oleh Pengadilan Negeri Makassar atas putusan Mahkamah Agung.
Arif Seaga, kuasa hukum ahli waris, mengungkapkan adanya kejanggalan dalam proses hukum, termasuk hilangnya 12 alat bukti yang diajukan ke pengadilan serta dugaan penggunaan rincik palsu oleh pemohon eksekusi, Andi Baso Matutu.
Fakta yang lebih mengejutkan, Andi Baso Matutu sebelumnya telah divonis 1,6 tahun penjara karena pemalsuan dokumen tanah. Namun, meskipun pernah dipidana atas kasus pemalsuan sertifikat, ia tetap bisa memenangkan gugatan perdata dan mengeksekusi lahan.
“Bagaimana bisa seseorang yang terbukti melakukan pemalsuan dokumen masih memenangkan gugatan tanah? Ada apa dengan hukum kita?” sindir netizen di media sosial.
4. Modus Operandi Mafia Tanah: Dari Pemalsuan Hingga Manipulasi Sistem.
Mengutip investigasi Media Tempo (18/07/2022), berikut adalah beberapa modus yang sering digunakan mafia tanah untuk menguasai lahan secara ilegal:
1. Pemalsuan Dokumen.
– Bekerja sama dengan pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menerbitkan akta jual beli (AJB) palsu.
– Membuat akta peralihan tanah fiktif untuk mengaburkan kepemilikan asli.
2. Sertifikat Ganda dan Girik Palsu
Mencari tanah yang belum memiliki sertifikat resmi, lalu menerbitkan girik palsu atau sertifikat ganda.
3. Manipulasi Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Mengubah identitas kepemilikan dan luas tanah dalam sistem pertanahan elektronik.
4. Kolusi dengan Pejabat.
– Bekerja sama dengan oknum pejabat daerah dan aparat hukum untuk meloloskan kepemilikan ilegal.
– Kasus seperti di Pettarani dan Rempang membuktikan bahwa mafia tanah seringkali memiliki jaringan kuat yang mencakup pengusaha, pejabat, hingga aparat penegak hukum.
5. Kapitalisme dan Perampasan Ruang Hidup Rakyat.
Sulsel menjadi contoh nyata betapa kapitalisme telah mengakar kuat dalam sistem pertanahan Indonesia. Dalam sistem ini, tanah yang seharusnya menjadi hak rakyat justru dijadikan komoditas oleh segelintir elite.
Sistem kapitalisme memungkinkan:
✅ Lahan publik di kavling untuk kepentingan bisnis,
✅ Hutan konservasi berubah menjadi sertifikat Hak Milik (SHM),
✅ Hak rakyat atas tanah tidak diakui hanya karena tidak memiliki sertifikat,
✅ Investasi lebih diutamakan dibanding kehidupan masyarakat lokal.
Hal yang ironis, masyarakat yang sudah tinggal di suatu wilayah selama ratusan tahun tiba-tiba dianggap sebagai penghuni ilegal hanya karena tidak memiliki sertifikat tanah. Sementara itu, perusahaan besar dengan modal kuat bisa mendapatkan SHGB dalam sekejap.
Ketika pemilu, suara rakyat dicari. Tapi ketika investasi datang, rakyat diusir.
6. Jalan Keluar: Haruskah Kita Diam?
Pemerintah telah berupaya mengatasi konflik agraria melalui program sertifikasi tanah elektronik. Namun, faktanya, program ini belum sepenuhnya melindungi rakyat kecil. Masih banyak kasus di mana masyarakat tetap harus membayar biaya-biaya tambahan yang tidak seharusnya ada.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
✅ Penegakan hukum yang bersih → Mafia tanah tidak bisa diberantas jika oknum pejabat masih bermain mata dengan mereka,
✅ Audit dan transparansi BPN → Perlu dilakukan audit menyeluruh terhadap sertifikat tanah yang dikeluarkan dalam 10 tahun terakhir,
✅ Partisipasi masyarakat dan media → Kasus-kasus seperti ini tidak boleh dibiarkan tenggelam. Tekanan publik bisa menjadi senjata ampuh,
✅ Reformasi agraria yang berpihak pada rakyat → Pemerintah harus memastikan bahwa tanah tetap menjadi hak masyarakat, bukan segelintir elite yang hanya mengejar keuntungan.
Praktik mafia tanah yang semakin merajalela membuktikan bahwa negara hanya berperan sebagai regulator yang memuluskan kepentingan oligarki. Jika dibiarkan, bukan hanya laut dan hutan yang akan hilang—tanah tempat rakyat berpijak pun bisa lenyap kapan saja.
Maka, satu pertanyaan penting: Akankah kita tetap diam, atau mulai bersuara? (TIM/Red)
#Editor:Syarif Al Dhin#