OPINI oleh : Aliyuddin, S.Pd.
MAKASSAR – LEMKIRANEWS.Id
Pilkada selalu menjadi ajang penuh intrik dan dinamika politik. Di tengah keriuhan ini, muncul dua tipe tokoh yang kerap menghiasi panggung: petarung dan penjudi. Meski sekilas tampak serupa, keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam cara mereka menjalani kompetisi politik.
Seorang petarung adalah figur yang menapaki jalan dengan perhitungan matang. Mereka memahami peta politik, mengenali kebutuhan masyarakat, dan merancang strategi berdasarkan data serta pengalaman. Bagi petarung, setiap langkah adalah investasi jangka panjang. Mereka bertarung bukan hanya untuk menang, tetapi juga untuk membangun kepercayaan dan meninggalkan warisan politik.
Sebaliknya, penjudi lebih banyak bertaruh pada faktor keberuntungan. Tanpa persiapan memadai, mereka mengandalkan popularitas instan, gimmick kampanye, atau bahkan isu kontroversial untuk menarik perhatian. Penjudi cenderung mengambil resiko besar tanpa perhitungan matang, dengan harapan bisa meraup kemenangan cepat. Namun, jika gagal, mereka sering kali hilang dari panggung politik tanpa meninggalkan dampak berarti.
Pilkada sejatinya membutuhkan sosok petarung. Kepemimpinan yang lahir dari proses perjuangan akan lebih memahami kompleksitas tantangan daerah. Namun, realitas politik menunjukkan bahwa penjudi sering kali mendapat tempat, terutama ketika masyarakat terjebak dalam pesona sesaat.
Pilkada bukan hanya soal adu gagasan, melainkan juga pertarungan pengaruh yang kerap diselingi praktik money politik. Dalam konteks ini, perbedaan antara petarung dan penjudi menjadi semakin kabur. Keduanya bisa terjebak dalam penggunaan uang untuk membeli suara, namun motif dan dampaknya berbeda.
Petarung sejati, meskipun memiliki prinsip kuat, kerap menghadapi dilema dalam menghadapi realitas politik. Dalam sistem yang terkontaminasi oleh money politik, mereka terkadang terpaksa mengalokasikan dana kampanye untuk mempertahankan posisi di tengah arus persaingan. Namun, bagi petarung, penggunaan uang ini lebih diarahkan untuk membangun infrastruktur politik jangka panjang, seperti pelatihan kader atau penguatan basis massa yang loyal. Tujuan akhirnya tetap untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan.
Sebaliknya, penjudi melihat money politik sebagai alat utama untuk meraih kemenangan instan. Tanpa basis massa yang solid atau visi politik yang jelas, mereka mengandalkan strategi “serangan fajar” untuk memborong suara. Bagi penjudi, kemenangan dalam pilkada lebih seperti jackpot dalam permainan kasino—cepat, instan, tetapi seringkali tidak bertahan lama. Akibatnya, kepemimpinan yang dihasilkan cenderung lemah dan minim prestasi karena didasarkan pada transaksi, bukan aspirasi.
Praktik money politik juga menciptakan lingkaran setan dalam demokrasi lokal. Masyarakat yang terbiasa menerima uang cenderung mengabaikan kualitas kandidat, sehingga membuka ruang bagi penjudi politik untuk terus bermain. Di sisi lain, petarung yang enggan terlibat dalam money politik sering kalah saing, meskipun memiliki visi dan kemampuan yang lebih baik.
Pilkada selalu menjadi medan pertempuran sengit, di mana berbagai aktor terlibat, termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN). Meski ASN seharusnya netral, kenyataannya mereka kerap menjadi alat politik, baik oleh petarung maupun penjudi. Peran ASN ini semakin kompleks ketika dikaitkan dengan praktik money politik, yang semakin memperkeruh perbedaan antara petarung dan penjudi.
Seorang petarung, meski memiliki prinsip dan strategi jangka panjang, sering kali menghadapi tekanan dari elite politik untuk melibatkan ASN dalam kampanye. Dalam sistem yang tidak sepenuhnya bersih, petarung mungkin memanfaatkan dukungan ASN untuk memperkuat jaringan politik, terutama di daerah-daerah yang membutuhkan akses langsung ke pemilih. Namun, mereka cenderung lebih hati-hati dalam melibatkan ASN, mengingat risiko terhadap integritas dan legalitas.
Sebaliknya, penjudi melihat ASN sebagai alat strategis untuk mendongkrak peluang kemenangan. Dalam skenario ini, ASN dipaksa atau tergoda untuk terlibat aktif dalam kampanye, baik secara langsung maupun melalui fasilitasi penggunaan sumber daya pemerintah. Dengan memanfaatkan posisi ASN, penjudi dapat memperluas jangkauan money politik, mengamankan dukungan dari kelompok masyarakat yang sulit dijangkau secara langsung.
Praktik money politik semakin masif ketika ASN dilibatkan. Sebagai ujung tombak pelayanan publik, ASN memiliki akses ke data penduduk, jaringan komunitas, dan sumber daya pemerintah. Dalam konteks money politik, keterlibatan ASN dapat mempermudah distribusi uang kepada pemilih, misalnya melalui program bantuan sosial yang dimanipulasi atau kegiatan resmi yang diselipi agenda kampanye.
Petarung yang terjebak dalam sistem ini mungkin merasa harus “melawan api dengan api,” menggunakan ASN untuk memastikan mereka tidak tertinggal dalam persaingan. Namun, penjudi memanfaatkan ASN tanpa beban, dengan pendekatan transaksional yang terang-terangan. Hasilnya, pilkada menjadi arena dimana money politik tidak hanya melibatkan kandidat dan tim sukses, tetapi juga aparatur pemerintah.
Keterlibatan ASN dalam pilkada yang diwarnai money politik tidak hanya merusak netralitas birokrasi, tetapi juga memperburuk kualitas demokrasi. ASN yang semestinya melayani publik dengan profesional justru terjebak dalam permainan politik praktis. Dampak jangka panjangnya adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, serta terganggunya kinerja pelayanan publik pasca-pilkada.
Bagi masyarakat, memahami peran ASN dalam konteks pilkada menjadi penting. Kesadaran akan bahaya money politik yang melibatkan birokrasi adalah kunci untuk menciptakan demokrasi yang lebih sehat. Tanpa partisipasi aktif dari masyarakat dalam mengawasi dan melaporkan pelanggaran, pilkada akan terus menjadi ajang dimana perbedaan antara petarung dan penjudi hanya menjadi soal strategi, bukan soal moralitas.
Pada akhirnya, integritas pilkada terletak pada pilihan kolektif: apakah masyarakat ingin memajukan petarung sejati yang menghormati aturan, atau membiarkan penjudi politik dan jaringan money politiknya, termasuk ASN yang terlibat, mendominasi panggung politik.(Tim/RDK)