Makassar – Lemkiranews.Id
Peraturan Peraturan Daerah Sulawesi Selatan No 2 Tahun 2007 tentang Wajib Belajar hadir sebagai instrumen hukum untuk menjamin akses pendidikan dasar bagi seluruh warga negara Indonesia. Namun, beberapa pasal dalam PP ini menimbulkan interpretasi yang rancu dan berpotensi menimbulkan masalah di tingkat implementasi, terutama terkait koordinasi dan tanggung jawab pemerintah pusat, daerah, serta satuan pendidikan.
Salah satu isu utama adalah reaksi terlalu dini dari beberapa gubernur yang mengeluhkan kewajiban peraturan gubernur (Pergub) dalam mendukung program ini. Tanpa kajian yang matang dari berbagai pihak—termasuk Kementerian Pendidikan, DPR RI, serta stakeholder pendidikan lainnya—kebijakan turunannya dapat menjadi kontroversial dan memicu persoalan di sekolah serta masyarakat.
Selain itu, persoalan pendanaan, terutama dalam mengimbangi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat, menjadi tantangan serius. Seharusnya, pemerintah daerah menyiapkan BOSDA (BOS Daerah) sebagai solusi agar pendidikan tetap bisa berjalan tanpa membebani sekolah dan siswa.
*Analisis Pasal-Pasal Kritis*
1. Pasal 6: Kewenangan Berjenjang yang Berpotensi Rancu
Pasal ini membagi tanggung jawab pengelolaan program wajib belajar ke dalam beberapa tingkatan:
– Menteri bertanggung jawab secara nasional,
– Gubernur bertanggung jawab pada tingkat provinsi,
– Bupati/wali kota bertanggung jawab di tingkat kabupaten/kota,
– Kepala satuan pendidikan bertanggung jawab di sekolah,
Potensi permasalahan dalam pasal ini adalah kurangnya kejelasan mekanisme koordinasi antar-tingkatan. Tanpa aturan teknis yang lebih jelas, sering kali terjadi tarik-menarik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk dalam pendanaan.
Dampaknya, gubernur dan kepala daerah sering kali merasa terbebani dengan tanggung jawab tanpa adanya dukungan anggaran yang memadai. Hal ini bisa menjadi alasan beberapa gubernur mengeluhkan kebijakan Pergub terlalu dini sebelum ada kajian yang matang.
Seharusnya, dalam implementasi pasal ini, perlu ada mekanisme koordinasi yang lebih ketat dengan memperjelas alur komunikasi dan pembagian beban anggaran, termasuk dengan adanya BOSDA sebagai solusi finansial di daerah.
2. Pasal 4 Ayat (4): Sanksi Administratif yang Berpotensi Bermasalah
Pasal ini mengatur sanksi bagi satuan pendidikan dasar yang melanggar aturan program wajib belajar. Bentuk sanksi yang diberikan berupa:
– Teguran administrasi,
– Penghentian bantuan,
– Penutupan satuan pendidikan.
Meskipun pasal ini bertujuan untuk memastikan sekolah menaati aturan wajib belajar, penerapannya dapat menimbulkan masalah baru, terutama bagi sekolah yang menghadapi kendala pendanaan akibat keterbatasan anggaran dari pemerintah daerah.
Jika Biaya Operasional Sekolah (BOS) dari pusat tidak mencukupi dan BOSDA belum tersedia, sekolah bisa berada dalam posisi sulit. Jika sekolah tidak mendapatkan cukup dana untuk operasional tetapi tetap diwajibkan menjalankan program, potensi pelanggaran administratif bisa meningkat, sehingga muncul tuduhan korupsi terhadap pihak sekolah.
Seharusnya, sebelum menerapkan sanksi, pemerintah perlu memastikan sekolah memiliki dukungan finansial yang cukup dan menyiapkan mekanisme bantuan khusus bagi daerah yang kurang mampu.
3. Pasal 7: Kebijakan Nasional yang Butuh Sinkronisasi
Pasal ini menegaskan bahwa program wajib belajar harus menjadi bagian dari kebijakan nasional, termasuk dalam:
– Rencana Kerja Pemerintah,
– Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
– Rencana Strategis Pendidikan,
– Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang.
Namun, implementasi di lapangan menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara kebijakan pusat dan daerah. Banyak daerah yang mengeluhkan keterbatasan anggaran karena tidak semua provinsi atau kabupaten memiliki dana cukup untuk menjalankan kebijakan ini secara mandiri.
Seharusnya, dalam pasal ini, diperjelas mekanisme pembagian anggaran antara pusat dan daerah untuk memastikan seluruh sekolah mendapatkan dana yang cukup tanpa membebani pemerintah daerah secara berlebihan.
*Perlukah Revisi atau Kajian Ulang?*
PP No. 2 Tahun 2007 memang merupakan landasan hukum yang kuat untuk menjamin pendidikan dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia. Namun, dalam implementasinya, terdapat beberapa permasalahan, terutama terkait:
1. Ketidaktepatan pembagian kewenangan yang bisa menimbulkan konflik antara pemerintah pusat dan daerah.
2. Kekurangan dukungan finansial, di mana BOS dari pusat tidak cukup dan BOSDA belum tersedia di semua daerah.
3. Sanksi administratif yang berpotensi menekan sekolah, padahal masalah utama sering kali berasal dari kurangnya dukungan kebijakan daerah.
Seharusnya, sebelum gubernur menerbitkan Pergub terkait wajib belajar, perlu ada kajian lebih mendalam dari berbagai pihak, termasuk Kementerian Pendidikan, DPR RI, serta akademisi dan praktisi pendidikan. Selain itu, pemerintah daerah perlu menyiapkan BOSDA sebagai dana pendamping BOS agar program ini tidak membebani sekolah dan masyarakat.
Tanpa adanya revisi atau kajian ulang yang lebih komprehensif, kebijakan ini berpotensi tetap menjadi kontroversial dan bahkan kontraproduktif dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. (Red)
_Penulis : Syarif Al Dhin_